Opini
Virus 500 TKA dan Inkonsistensi Pemerintah
Yayat Nurkholid, Aktivis HMI Cabang Kendari
Published
5 tahun agoon

KendariMerdeka.com – Pada tanggal 29 April 2020 Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tenggara bersama DPRD Sultra sepakat menolak rencana kedatangan 500 TKA asal Negara China yang akan bekerja di perusahaan pemurnian nikel (smelter) PT.VDNI. Namun pada tanggal 16 Juni 2020 pemerintah provinsi justru beralih sikap dengan menerima dan mengizinkan 500 TKA tersebut masuk dan bekerja di Sulawesi tenggara. Tidak terkecuali Ketua DPRD Sultra yang juga telah menerima 500 TKA dengan beerbagai macam alasan. Sikap inkonsistensi DPRD dan pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara terhadap 500 Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China itulah yang menimbulkan berbagai kritik dan penolakan ditengah masyarakat. Penolakan oleh masyarakat bukan tanpa dasar, ditengah kondisi kewaspadaan terhadap pandemi covid-19 dan beban perekonomian, disamping itu masyarakat juga dituntut untuk mematuhi protokol kesehatan dan tetap produktif walaupun aktivitasnya dibatasi, justru pemerintah memudahkan dan mengizinkan warga Negara asing masuk dan bekerja di Sulawesi tenggara.
Jika kemudian alasan didatangkannya TKA asal China adalah agar pembangunan tungku smelter dapat berjalan dengan baik dan tepat waktu sehingga investasi tersebut dapat mengurangi pengangguran dengan merekrut ribuan tenaga kerja lokal dan membantu mengurangi potensi krisis ekonomi ditengah pandemi covid-19 maka yang menjadi pertanyaan mendasar masyarakat adalah bagaimana dengan ribuan tenaga kerja lokal yang sampai saat ini masih dirumahkan dan belum mendapatkan kejelasan, bahkan potensi di PHK.? Untuk memperbaiki kondisi ekonomi mestinya menyasar kepada pelaku ekonomi UMKM yang mampu bertahan meski krisis ekonomi sekalipun, bukannya menambah beban masyarakat dengan kewajiban membayar rapid test ketika hendak bepergian dan menambah kekhawatiran akan bertambahnya covid-16 karena mendatangkan TKA untuk memuluskan jalannya investasi asing.
Itulah yang menjadi salah satu alasan masyarakat melakukan berbagai cara untuk menolak kedatangan 500 TKA tersebut. Namun dengan sejuta kelemahan masyarakat tahap pertama 156 TKA telah masuk ke perusahaan pada tanggal 23 Juni 2020. Masuknya TKA tersebut dengan pengawalan ketat dari aparat TNI POLRI dan Pemerintah semakin menimbulkan pertanyaan dan kecurigaan ditengah masyarakat. Pemerintah yang mestinya lebih mementingkan kepentingan rakyat justru memihak kepada asing. Apakah mungkin hal tersebut yang disebut dengan pemerintahan yang terdikte.! Sebab perusahaan asing dalam hal ini PT.VDNI dan PT.OSS adalah korporasi besar yang mungkin saja dapat mendikte bahkan kadang-kadang membeli pemerintahan untuk meloloskan keinginannya. Ketika hal tersebut benar, maka sesungguhnya korporasi-korporasi besar China telah memperoleh kekuasaan kelembagaan yang bersifat otonom sehingga perlahan mengasingkan masyarakat lokal dari tanah leluhur mereka.
Abraham Lincoln pernah menuliskan sebuah surat yang ditunjukan kepada William Elkins, dimana sebagian isinya menjelaskan tentang berbagai korporasi telah menjadi seperti raja dan saat itulah era korupsi akan mengikut dan meningkat tinggi serta kekuasaan finansial akan berupaya memperpanjang kekuasaannya dengan merugikan kepentingan rakyat sehingga seluruh kekayaan negeri akan terpusat disejumlah tangan penguasa dan Republik perlahan menjadi hancur.
Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa saat ini sebagaian besar korporasi di Indonesia pernah, sedang, dan akan melakukan skandal dalam berbagai bentuk dengan menyuap para pejabat Negara. Rakyat Indonesia sendiri umumnya tidak mengetahui apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Mereka hanya melihat dikalangan pemerintah menunjukan hal-hal atau sikap dan kebijakan yang inkonsistensi sebagaimana pemerintah dan DPRD Sultra tunjukan.
Seperti uraian di atas bahwa secara teoritis pemerintah yang mendapat kekuasaan dari rakyat seharusnya lebih mementingkan kepentingan rakyat dan lebih kuat dari korporasi, terlepas dari seberapa besar korporasi itu[5]. Namun saat ini justru sebaliknya, pemerintah lebih cenderung memuluskan kepentingan korporasi dengan berbagai macam dalil, bahkan kebijakan berupa regulasi dibuat dan diganti dengan yang baru dalam rangka meloloskan korporasi yang sejatinya bertentangan dengan kesejahteraan dan kedamaian rakyat. Mungkin karena korporasi menyediakan uang pelumas agar semuanya dapat berjalan lancar sesuai dengan keinginannya.
Sikap dan pernyataan Gubernur dan Ketua DPRD Sultra yang tidak konsisten langsung dapat disimpulkan oleh masyarakat bahwa tidak mungkin keduanya sebagai pucuk pimpinan di Sulawesi Tenggara tidak mendapatkan sesuatu yang istmewa dan tidak memiliki konektisitas erat dengan pemilik korporasi PT.VDNI dan PT.OSS, dimana perusahaan tersebut menanamkan investasi sebesar RP.42 Trilliun sehingga terus melakukan perkembangan dan hendak membangun sekitar 45 tungku smelter[6]. Sikap inkonsistensi pemerintah bukan hanya menimbulkan kecurigaan ditengah masyarakat, tetapi juga ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Namun belum terlambat, nasi belum menjadi bubur. Pemerintah baik legislative maupun eksekutif dapat memperbaiki citra dengan kembali mengutamakan kepentingan rakyat, kesejahteraan adalah kuncinya. Maka sebagai daerah otonom pemerintah memiliki wewenang untuk mengambil sikap atas maraknya tenaga kerja asing di Sulawesi Tenggara. Putra daerah bukan tidak ada yang ahli, bukan tidak memumpuni untuk bekerja di perusahaan besar seperti VDNI dan OSS, hanya saja mereka belum terakomodir dan belum terinventarisir berdasarkan keahlian dan kemampuannya.
Ditengah pandemi covid-19 masyarakat yang dituntut untuk mengurangi aktivitas interaksi langsung dan tetap produktif telah berupaya sedemikian mungkin untuk membantu dalam memutus mata rantai dan mengurangi kasus covid-19 serta menjalankan perputaran ekonomi semampunya. Terlebih UMKM mereka adalah garda terkuat dalam menangkal dan bertahan meski krisis ekonomi terjadi. Olehnya itu pemerintah diharapkan dapat memberikan stimulant kepada UMKM untuk aktif dalam memproduksi dan merekrut tenaga kerja. Mengutip pernyataan Adian Napitupulu “andaikata pemerintah membagikan uang untuk modal kerja masing-masing Usaha Mikro melalui KUR Mikro dan kecil sebesar RP.25 juta saja, maka setidaknya ada 6 juta usaha Mikro dan kecil yang bergeliat dan lepas daari sesak nafasnya. Karena andai tiap usaha mikro mempekerjakan 3 orang saja maka paling tidak ada 18 juta lapangan kerja untuk 18 juta orang”. Ketika apa yang disampaikan Adian Napitupulu dilakukan oleh pemerintah Sulawesi Tenggara dengan memberikan modal kepada 126.332 unit UMKM di Sultra maka 378.996 masyarakat Sultra aktif bekerja di UMKM tersebut dan dapat dimungkinkan perekonomian dan pendapatan daerah akan meningkat dan citra pemerintah akan kembali baik di mata masyarakat.(**)
You may like
-
Terima Sertifikat Propernas dari KLHK, PKT Komitmen Tingkatkan Kinerja Lingkungan
-
VDNIP Lakukan Penyesuaian Upah Buruh Tahun 2022
-
Mahasiswa Lempari Telur Busuk dan Kotoran Ternak di Kantor Imigrasi Kendari
-
Demo Tolak TKA, Massa Ancam Masuk Paksa Temui Kepala Imigrasi Kendari
-
PPMSB Nilai Nurani Imigrasi Mati, Massa Aksi Salat Jenazah di Depan Kantor Imigrasi Kendari
-
PPMSB: Imigrasi Kendari Pelacur Bangsa

Penulis: La Ode Muhram Naadu SH,MH (Akademisi Hukum)
KENDARI – Menuliskan ulasan sederhana ini memerlukan keberanian. Bisa saja saya terhakimi publik. Tapi itulah resiko berpendapat di negeri ini. Kita tidak bisa mengendalikan apa persepsi orang terhadap kita.
Bagaimanapun sentimen emosional harus dipisahkan. Seperti sentimen antipati terhadap kepolisian, sentimen peliknya nasib guru honorer (apalagi jika dikriminalkan), sentimen sulitnya mendapat keadilan di negeri ini yang cenderung bersemayam di sanubari masyarakat kita.
Kita harus murni melihat, mengidentifikasi alur data, fakta, informasi, isu dan hoaks. Memisahkan sentimen, kesedihan yang bukan pada tempatnya. Untuk kemudian mencari solusi yang terbaik tanpa harus membuat polusi.
Berhembusnya beberapa isu terkait Kasus Supriyani memantik amarah publik. Ada 3 hal yang menjadi isu utama. Pertama, korban adalah anak polisi yang dengan kekuatan kepolisiannya mampu mengatur-atur kasus ini. Kedua, ada permintaan uang 50 juta untuk damai. Ketiga, karena tidak mampu membayar uang damai Supriyani akhirnya ditahan oleh kepolisian.
Media sosial dengan keunggulan kecepatannya mengalirkan informasi dengan cepat. Ampuh menggiring netizen emosional dalam 3 isu utama di atas. Keberimbangan klarifikasi pun jadi terabaikan. Padahal wajib bagi kita untuk melihat informasi ini dari kedua sisi. Seperti harusnya media-media kita melakukan cover both side dalam setiap pemberitaannya.
Ketakutan saya adalah desain isu Kasus Supriyani menyembunyikan banyak misteri. Terlalu banyak “Argumentum Ad Misericodiam” yang cenderung disukai oleh netizen Indonesia, yang begitu kuat daya bacanya namun tidak dengan daya bacanya. Harus ditelisik lebih jauh 3 isu diatas, jangan sampai kita di “prank” seperti banyak fenomena isu di negeri ini.
Menjawab isu pertama, ini akan terjawab dengan memperhatikan tenggang waktu penyidikan dan terpenuhinya syarat ditetapkannya Tersangka bagi Supriyani. Sebagai data awal, kasus ini dilaporkan pada April. Telah terjadi mediasi beberapa kali. Kemudian ditahan di bulan Oktober.
Tenggang waktu untuk pemberkasan perkara dari pelaporan sampai penahanan sudah tepat. Kemudian telah terjadi mediasi beberapa kali menunjukan adanya niatan restoratif justice sebagaimana paradigma sistem peradilan perlindungan anak.
Tercatat beberapa pemberitaan yang menyebutkan kasus ini dikebut. Dengan melihat range waktu tersebut jelas terbantahkan. Kemudian pemberitaan bahwa Supriyani dijebak mengaku, ini akan terbuka dalam persidangan. Kalau memang dijebak, harusnya tidak terjadi mediasi berulang-ulang. Jika mengikuti dugaan itu harusnya setelah dijebak, buktinya cukup maka Supriyani langsung Tersangka, langsung ditahan. Kalau memang tidak sesuai prosedur harusnya pihak Supriyani ajukan praperadilan.
Kedua, persoalan permintaan uang 50 Juta untuk damai. Hal ini justru dibantah oleh Supriyani sendiri yang menyebutkan bahwa inisiatif itu bukan dari pihak korban/kepolisian namun dari kepala desa. Notabene awalnya muncul pemberitaan bahwa Supriyani diperas oleh penyidik. Kemudian muncul pula klarifikasi kepala desa yang relevan dengan pengakuan Supriyani.
Untuk menguji bahwa apakah benar diperas, perlu diidentifikasi siapa pelakunya dan motifnya apa. Persoalan siapa pelakunya terjawab oleh Supriyani. Persoalan motifnya akan terjawab bahwa jika 50 juta itu adalah kompensasi agar damai ; Supriyani tidak ditahan, harusnya pihak yang menahan Supriyani adalah kepolisian itu sendiri (yang dituduh mengatur-atur perkara ini). Namun kenyataannya, penahanan itu dilakukan oleh jaksa penuntut umum. Kemudian ditangguhkan oleh ketua pengadilan.
Ketiga, bahwa fakta Supriyani ditahan. Ini jelas dilakukan oleh jaksa penuntut umum pasca berkas dinyatakan lengkap. Kemudian karena desakan publik akhirnya ditangguhkan. Notabene yang menangguhkan adalah ketua pengadilan, bukan jaksa penuntut umum. Selama proses di kepolisian Supriyani tidak ditahan. Bahkan di mediasi beberapa kali dengan melibatkan UPTD PPA, KPAD, kepala desa, kepala sekolah.
Banyak pihak yang cenderung berkesimpulan didasari oleh sentimen yang terlanjur terbangun dalam paradigma masyarakat. Namun bagaimanapun kebenaran harus terkuak. Itu harus diteliti dan diperjuangkan. Arahnya jelas, kita bukan lagi saling menghukum atau saling menghabisi. Melainkan merestorasi, memulihkan sepeti kondisi semula, seperti esensi keadilan restoratif dalam pemidanaan baru kita.
Ulasan ini sangat sederhana. Tentu masih banyak yang ingin saya ulas. Namun penting untuk memastikan real dan validnya data yang ada, sembari menunggu waktu mengurai jejak-jejak kebenaran. Namun tak ada salahnya memperediksi keadaan yang akan terjadi. Karena sejauh ini warna dari peristiwa ini mulai mencolok. Tidak sesamar kemunculannya.
Aspek desakan sosial adalah salah satu variabel berpengaruh dalam penegakan hukum kita. Keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum selalu menjadi debatabel. Namun merebut simpati publik adalah hal yang sangat menggiurkan bagi sebagian orang. Ini akan jadi faktor utama.
Ada dua hal yang kemungkinan akan terjadi dari perkara ini :
Pertama,
Bola liar kasus ini menggelinding di kaki jaksa penuntut umum. Happy ending cenderung akan jadi pilihan terbaik. Bagaimanapun opini sudah dikuasai oleh publik, menekan bahwa Supriyani harus dibebaskan.
Saya menduga bahwa jaksa penuntut umum akan mengunci peran sebagai pihak yang akan memunculkan opsi ini. Dengan kewenangan bisa menuntut bebas Supriyani. Yah, karena di kepolisian sudah terkunci ; yakin bahwa Supriyani bersalah dan proses mediasinya gagal, meskipun sudah berupaya memediasi hingga diujung waktu.
Dengan arus besar opini publik, jaksa penuntut umum bisa saja akan bersikap inkonsisten. Meski dalam dakwaannya menuntut bahwa Supriyani bersalah namun dituntutannya Supriyani akan dituntut bebas. Dalam hal ini tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kekerasan.
Kenapa hal ini bisa terjadi?
Melihat jumlah bukti yang diajukan dan rentang waktu proses pemberkasan perkara, satu-satunya hal yang bisa membebaskan Supriyani adalah niat dan sikap batinnya dalam melakukan tindakannya (mens rea).
Meskipun secara teoritis ini masih bisa diperdebatkan, namun inilah satu-satunya argumentasi hukum yang bisa membuat Supriyani bebas. Dan pilihan ini menggiurkan ; siapa yang membebaskan Supriyani akan meraih simpati publik.
Kedua,
Skenario membebaskan Supriyani akan jadi pilihan dari pihak Supriyani sendiri. Cara yang paling simpel dan aman adalah mengakui kesalahannya bahwa benar ia memukul. Meskipun hal ini mengkonfirmasi bahwa tindakan kepolisian sudah benar. Polisi meskipun sudah benar namun publik sudah terlanjur menyalahkan secara membabi buta. Supriyani sudah memenangkan opini publik.
Pilihan ini jelas tidak merugikan Supriyani, karena memukul murid di negeri ini sudah menjadi barang yang lazim. Orang akan berpendapat bahwa dia wajar memukul, karena tujuannya membina. Meskipun menyebabkan lecet atau bahkan melanggar hukum.
Supriyani akan meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Dalam Perma 1/2024 ini bisa saja terjadi sebelum dilakukan penuntutan. Jika terjadi kesepakatan antara korban (bukan jaksa penuntut umum) dan terdakwa dan dilakukan dihadapan persidangan maka Supriyani akan bebas dan meraih banyak keuntungan. The winner takes it all. Dia bebas, dan menjalani statusnya bukan lagi sebagai guru honorer dengan memenangkan simpati publik sebagai pejuang keadilan.
Terakhir, mungkin saja dua hal di atas tidak akan terjadi jika jaksa penuntut umum konsisten dalam menegakan kepastian hukum dan pihak korban tidak memaafkan Supriyani. Namun kita lihat saja. Harapan saya adalah semua pihak harus dipulihkan kondisinya, tidak boleh perkara ini terdistorsi, termanfaatkan dan tertunggangi kepentingan lain. Kita fokus bagaimana keadilan restoratif bisa tercapai.
Seperti kata Pram, berlakulah adil sejak dalam pemikiran.

Penulis : Ardi Wijaya, Mantan Sekjen Forum Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh, selamat malam Mas Menteri, semoga Mas Menteri senantiasa dalam keadaan sehat, terhindar dari wabah penyakit yang sedang melanda kita saat ini.
Mas Menteri, persis ditengah wabah pandemi, hari ini merupakan salah satu momen sejarah masa lalu pada fase panjang perjalanan bangsa Indonesia. Ya, hari ini adalah Hari Pendidikan Nasional yang terus kita kenang setiap tanggal 2 Mei. Bagi saya, seremonial ini adalah kilas balik untuk merenungi pencapaian kita tentang keyakinan akan harapan dan mimpi bersama untuk masa depan pendidikan gemilang di seluruh pelosok nusantara.
Mas Menteri, seorang Ibu Guru Sejarah bercerita kepada saya tentang sejarah dibalik peringatan Hardiknas yang kita peringati setiap 2 Mei, bertepatan dengan kelahiran seorang tokoh pejuang pendidikan sejak zaman penjajahan.
Dia adalah Raden Mas Soewardi Suryaningrat. Dari namanya kita kenal, beliau adalah keluarga keraton dan golongan priyayi pada kultur sosial masyarakat Jawa. Sosok yang sangat peduli dengan pendidikan masyarakat pinggiran. Kini kita mengenalnya dengan tokoh Ki Hajar Dewantara. Buah pemikirannya sering dikutip dan menjadi kompas penuntun arah pendidikan kita. Nama yang dipilihnya untuk menghindari predikat bangsawan yang melekat pada dirinya.
Sama rasa dan sama rata adalah prinsip yang kelak harus diwujudkan guna menghasilkan generasi yang secara universal mampu berfikir merdeka. Sejarah mencatat bahwa sebagian besar rentang kehidupan Ki Hadjar Dewantara diabdikannya untuk membangun kesadaran dan kecerdasan generasi Indonesia tentang pentingnya memiliki hidup yang memberi makna dan terus menebar nilai-nilai kebaikan.
Mas Menteri, kata Ibu Guruku, masalah pendidikan yang dihadapi Ki Hajar Dewantara pada saat itu sangat berat, ditengah masa transisi kemerdekaan, beliau menghadapi tantangan untuk mengikis sisa pendidikan kolonial yang selama ini memenjara pemikiran merdeka masyarakat bangsa yang telah lama terbelenggu penjajahan. Ciri doktrin pendidikan kolonial menekankan pada terbentuknya jiwa masyarakat Indonesia yang diselimuti keraguan untuk mengutarakan pendapat, memiliki kerangka berfikir yang dipenuhi oleh kekhawatiran dan rasa takut salah.
Mas Menteri, rendahnya budaya literasi di negara kita sangat erat kaitannya dengan kondisi fasilitas pendidikan kita saat ini. Kata Data menunjukan bahwa Provinsi dengan kepemilikan perpustakaan Sekolah Dasar (SD) terendah adalah Papua, sebesar 31%.
Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan jumlah perpustakaan terendah berada di Maluku Utara sebesar 58,7%. Jumlah perpustakaan paling sedikit dari Sekolah Menengah Atas (SMA) terletak di Maluku Utara dengan kepemilikan 69,2%. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan jumlah perpustakaan terminim terletak di Nusa Tenggara Barat, hanya 53%.
Mas Menteri, jauh di ufuk timur Indonesia, disparitas menjadi fenomena klasik yang sampai saat ini masih menjadi momok bagi wajah pendidikan kita. Sangat memperihatinkan ditengah kucuran 20 persen dari total Anggaran Pendapatan Belanja Negara ternyata belum sepenuhnya memberikan perubahan yang signifikan.
Mas Menteri, saya ingin bercerita sedikit, bahwa setiap pukul 06.00 pagi, saya dan beberapa teman sejawatku harus berjalan kaki menempuh jarak 7 kilo meter untuk bisa merasakan hangatnya duduk menimba ilmu pada pendidikan formal. Naik turun lereng bukit dengan kaki telanjang, melewati hutan belantara dengan riang gembira, melawan arus menyebrangi sungai, tanpa lupa menenteng alat tulis dan seragam sekolah yang akan digunakan untuk mengikuti proses belajar. Ini adalah kegiatan rutin yang dilakukan 2 kali dalam sehari.
Mas Menteri, sesampainya di sekolah kami melakukan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan buku cetak yang telah kusut sebagai bahan ajar dengan sampul yang telah kusam dan sobek, konon digunakan sejak zaman orde baru. Kondisi sekolah kami berdinding jelajah, atapnya yang terbuat dari pelepah rumbia yang mudah bocor menyebabkan kami sewaktu-waktu harus berkumpul pada sudut ruangan untuk menghindari tetesan air dari atap bangunan sederhana. Dengan fasilitas seadanya kami tetap memiliki keyakinan bahwa semua tempat adalah sekolah.
Mas Menteri, di sini saya belum sepenuhnya mengenal komputer, jauh dari sesuatu hal yang berbau teknologi, terasing dari bisingnya hiruk pikuk kota. Jangankan bisa berbicara Bahasa Asing, ngomong dengan menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar kadang belepotan. Lidahku terasa kaku jika tiba-tiba harus mengucapkan bahasa asing yang terdengar ganjil ditelinga saya. Membedakan lock down dan download saja terasa rumit.
Mas Menteri, mengejar mimpi untuk bertahan dalam kondisi seperti ini kami lakukan hanya demi satu tujuan yakni bisa setara dengan saudara sebangsa yang terbilang cukup menikmati fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. Bagaimana mungkin kita mengampanyekan untuk bisa setara dengan bangsa asing, jika ada anak bangsa yang lain masih mengejar kesetaraan dengan saudara sebangsanya sendiri.
Mas Menteri, rasanya asyik ketika membayangkan setiap pagi jika berangkat ke sekolah saya menunggu bus sekolah yang akan menjemput di lokasi yang jaraknya dekat dengan rumah. Rasanya akan sangat membahagiakan jika tiap saat ingin membaca buku, mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan bacaan bagus, suasana adem dan nyaman dengan beragam ilmu pengetahuan tersedia di sana. Bukankah buku adalah jendela dunia yang dapat dimanfaatkan untuk mengetahui peradaban manusia yang tidak dapat dijangkau dengan indera penglihatan.
Mas Menteri, tapi dibalik semua itu kami selalu percaya dan meyakini bahwa keterbatasan bukanlah hambatan yang dapat mengurung mimpi kami untuk bisa memberikan yang terbaik. Kami akan selalu berusaha semaksimal mungkin menempa diri menjadi generasi yang kelak akan memberi manfaat untuk kemajuan dan perkembangan negeri kita tercinta.
Mas Menteri, bukankah peradaban besar tak dibangun oleh banyak apalagi semua orang tapi oleh sedikit kelompok orang. Sejarawan Arnold Toynbee mengistilahkannya sebagai “Minoritas Kreatif” yaitu generasi yang kini berjuang dan lahir dari tempaan kerasnya seleksi alam dalam kehidupan.
Generasi yang kelak akan selalu eksis dan selalu ada ketika semua orang lain telah tenggelam. Komunitas orang yang tak pernah mau berhenti berjuang untuk yang ia yakini ketika yang lain kelelahan, putus asa dan menyerah. Kami adalah sedikit orang yang terus mencari jalan bagi perbaikan dan perubahan ketika yang lain sudah merasa buntu dan kalah.
Mas Menteri, jika dapat didengar, ingin rasanya menitipkan harapan kepada Mas Menteri agar mampu mentransformasi kebijakan yang menyentuh seluruh komponen pendidikan yang tersebar diseluruh Indonesia. Kebijakan yang mampu dimiliki dan digenggam erat oleh semua, bukan kebijakan yang hanya dicicipi untuk sebagian orang.
Mas Menteri, diharapkan mampu mengikis disparitas yang selama ini terus menjadi penghambat kebijakan strategis pendidikan nasional. Menggenjot infrastruktur dasar sebagai modal fundamental untuk membentuk generasi yang mampu menggunakan teknologi secara bijaksana yang berbasis pada pemenuhan kebutuhan akademik.
Mas Menteri, jiwa muda serta semangat dan tekad yang anda miliki untuk mendobrak dan melakukan inovasi dengan meningkatkan peran teknologi dalam upaya mewujudkan kualitas, efisiensi dan administrasi sistem pendidikan menjadi lebih lebih baik adalah secercah harapan dari peliknya kesejangan pendidikan yang membentang dari Sabang sampai Merauke.
Mas Menteri, senyum khas dan optimisme dari Mas Menteri diharapkan menjadi pelita dalam gelapnya ruang pendidikan kita. Saya berharap suskes Mas Menteri dalam merintis dan mengembangkan bisnis startup, dapat diterapkan untuk membenahi potret pendidikan Indonesia yang membutuhkan manajemen kepemimpinan yang kreatif dan inofatif demi tercapainya pemerataan infrastruktur pendidikan.
Sekali lagi, Selamat Hari Pendidikan Nasional. Semoga Mas Menteri senantiasa sehat dan sukses untuk mewujudkan ide pendidikan Indonesia yang bertujuan menghasilkan generasi berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur. Generasi kompeten yang kelak akan membangun negerinya sendiri.
#SelamatHariPendidikanNasional
#Hadir&Mengalir
Berita
Fadli Zon: Prabowo Pemimpin Otentik, Bukan Pemimpin Plastik
Published
1 tahun agoon
18 Desember 2023
JAKARTA – Debat pertama Pilpres 2024 sudah beberapa hari lewat, namun publik masih saja terus membicarakannya hingga kini. Baik di laman media mainstream, maupun di media sosial. Masih banyak orang yang belum berhenti membahas debat pertama itu.
Melihat antusiasme tersebut, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Fadli Zon punya dua catatan positif terkait debat pertama Pilpres 2024.
Pertama, tingginya tanggapan publik atas debat pertama Pilpres menunjukkan masyarakat antusias mengikuti acara tersebut. Ini manandakan kehidupan demokrasi masih cukup baik. Ada keterlibatan dan partisipasi publik dalam proses berdemokrasi yang tengah berlangsung.
Kedua, berbeda dengan debat pada dua Pilpres sebelumnya, yang hanya menghadirkan dua pasang calon, pada debat Pilpres kali ini kita kembali disuguhi debat lebih dari dua kandidat. Ini juga hal positif lain yang pantas diapresiasi.
Polarisasi dua kubu sebagaimana pernah muncul pada dua Pilpres sebelumnya tak boleh kita pelihara. Sehingga, hadirnya tiga kandidat dalam Pilpres 2024 sebagai bentuk kemajuan. Alhamdulillah, kehidupan demokrasi kita tak jadi mandek. Kita bisa menatap tahun 2024 dengan pandangan lebih optimis.
Terkait isi dan jalannya debat, ada satu poin penting yang ingin saya garis bawahi. Dari tiga kandidat, Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto bisa tampil otentik, apa adanya. Ada yang bilang, Prabowo satu-satunya kandidat yang bukan plastik. Saya sepenuhnya setuju dengan perumpamaan tersebut.
“Sebagai tokoh, Prabowo memang tak menyukai pencitraan. Bahkan, dalam sejumlah hal, ia bisa disebut anti-pencitraan. Saya yang mengenal dari dekat selama 30 tahun, menyaksikan bagaimana Prabowo hanya mau tampil apa adanya tanpa kosmetik. Bahasa dan pernyataan politiknya selalu lugas, tak pernah belepotan oleh bedak dan lipstik,” kata Fadli Zon
Wakil Ketua Dewan Pembina DPP Partai Gerindra, Fadli Zon menyebut, saat menjawab pertanyaan insinuatif dari Ganjar Pranowo atas kasus pelanggaran HAM, misalnya, dengan lugas Prabowo menjawab bahwa ia tak pernah punya persoalan dengan semua tuduhan itu. Kalau ada persoalan, maka tak mungkin sebagian besar aktivis 1998 mau duduk di belakangnya pada debat malam itu.
Atau, jika ia memang dituduh punya persoalan HAM, maka calon wakilnya Ganjar Pranowo, Prof. Dr. Mahfud MD, yang kebetulan menjabat sebagai Menko Polhukam, seharusnya telah membereskan persoalan tersebut.
“Untungnya Prabowo tak bilang bahwa Ganjar Pranowo pun ikut menjadi Tim Pemenangannya tahun 2009 ketika Mega-Prabowo. Saya menjadi saksi dan penulis “Perjanjian Batu Tulis” tahun 2009 ketika Megawati hanya mau maju kalau calon wapresnya adalah Prabowo Subianto. Ganjar ketika itu menjadi bagian dari “Tim Sukses”. Saya menjadi Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Mega-Prabowo dan Hasto Kristiyanto menjadi wakil sekretaris saya,” sebut Fadli Zon.
Kalau Prabowo punya masalah, tak mungkin juga Mahfud MD mau menjadi Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Hatta pada Pilpres 2014. Saya yang waktu itu meminta dan mengusulkan Mahfud MD sebagai Ketua Tim. Dan saya ditunjuk sebagai Sekretaris Tim yang sehari-hari bekerja sama dengan Mahfud MD berjuang memenangkan Prabowo-Hatta.
“Jadi menurut saya, jawaban-jawaban Prabowo dalam debat pertama Pilpres ini sudah sangat lugas, tegas, dan juga telak. Prabowo tak menjawab dengan kata-kata normatif dan bersayap sebagaimana sering dilontarkan dua kandidat lain, yang sebenarnya jika diteliti hanya bersifat tautologis, jika begini maka begitu,” katanya.
Kelugasan dan otentisitas semacam itulah yang selalu dipertontonkan Prabowo, baik dalam debat kemarin, maupun dalam semua penampilan publiknya selama ini. Ia selalu membahas persoalan, atau menjawab pertanyaan, berdasarkan pengalaman riilnya sebagai manusia Indonesia yang sudah malang melintang. Jika harus tegas, ia akan bersuara tinggi saking semangatnya. Jika harus berkelakar, ia bisa terbahak-bahak. Jika sedang senang, ia akan berjoget spontan yang kini orang namakan “joget gemoy”. Itulah Prabowo, manusia apa adanya, otentik.
Prabowo bukanlah tipikal pemimpin pesolek yang selalu berusaha tampil cantik dan anggun di depan publik, meskipun keanggunan dan kecantikan itu sebenarnya hanya polesan saja. Akibat enggan didandani dan disuruh bersolek itulah banyak orang selama ini telah menyalahpahami Prabowo sebagai tokoh temperampental, sebuah penilaian yang sepenuhnya keliru.
“Silakan dicatat, Prabowo tak pernah menyerang atau menjatuhkan orang di depan publik, meskipun terhadap orang yang pernah menyakiti, mengkhianati, atau mengecewakannya. Mungkin mudah bagi kita untuk menahan diri, karena kita tak pernah disakiti, dikhianati, atau dikecewakan. Tapi Prabowo, orang yang sering difitnah dan dikhianati itu, terbukti bisa menyimpan kemarahan dan kekecewaan pribadinya tetap berada di relung hatinya. Ia hanya meledak-ledak untuk urusan-urusan yang bersifat publik saja. Dan hal ini jelas bukanlah sebuah kekurangan,” ucap Fadli Zon.
Dalam debat kemarin, Prabowo juga tak menonjolkan ke-aku-annya, melainkan lebih banyak mengedepankan ke-kita-an. Berkali-kali ia mengingatkan pentingnya “kekitaan”.
Hal itu bukan hanya semata-mata tinggal dalam kata-kata. Prabowo sudah melakukan dan mempraktikan sendiri semua yang diomongkannya. Jika harus mengalah untuk kepentingan yang lebih besar, ia mengalah. Itulah yang ditunjukkan pasca Pilpres 2019.
Demi persatuan nasional, Prabowo bergabung dengan Pemerintahan Joko Widodo dengan semangat rekonsiliasi nasional. Kalau ada yang bilang tak tahan beroposisi, cobalah bangun partai atau masuk dalam partai politik. Perjuangan politik seringkali tak mudah, tak hitam putih. Ada kalanya harus mundur selangkah, untuk maju seribu langkah. Ada kalanya, perjuangan berliku itu panjang untuk mencapai tujuan.
Terkait kekitaan, Prabowo adalah satu-satunya tokoh yang selalu berusaha merangkul orang lain untuk kepentingan yang lebih besar. Pada Pilpres 2014, misalnya, Anies Baswedan sering menyindir dan menyerang Prabowo. Namun, Prabowo tak pernah memasukkan serangan-serangan itu ke dalam hati. Terbukti, untuk menghentikan kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama di DKI Jakarta, Prabowo telah mengorbitkan dan membiayai Anies jadi gubernur. Hal semacam itu tak mungkin dilakukan oleh orang yang sempit hati dan pikirannya.
“Saya adalah orang pertama yang mengusulkan pencalonan Anies Baswedan sebagai calon gubernur DKI di saat-saat akhir sebelum penutupan pendaftaran KPU. Saya pula yang menulis “perjanjian politik” Anies Baswedan dan Sandiaga Uno serta Prabowo Subianto (Ketua Dewan Pembina Gerindra) dan Salim Segaf al Jufri (Ketua Majelis Syuro PKS). Selain dengan tulisan tangan, materainya pun darurat pakai ludah saya. Saya menjadi saksi dan pelaku peristiwa itu. Prabowo berjiwa besar mendukung Anies maju sebagai Gubernur DKI,” tandasnya.
Prabowo bahkan menginstruksikan seluruh anggota DPR RI, DPRD Provinsi hingga anggota DPRD Kabupaten/Kota Partai Gerindra seluruh Indonesia yang berjumlah ribuan untuk berkontribusi dana (pemotongan gaji) dan hadir ke Jakarta sebagai Tim Pemenangan di setiap kelurahan di DKI Jakarta. Begitu ketatnya persaingan Pilgub waktu itu dan alhamdulillah, Anies-Sandi menang. Itulah faktanya.
Di zaman simulakra seperti sekarang ini, di mana realitas palsu mudah sekali diciptakan dan disebarluaskan, kita membutuhkan pemimpin otentik dan bukan pesolek. Kita butuh pemimpin berkarakter, yang sudah selesai dengan dirinya, bukan petugas partai, bukan pula ronin.


Cerita Warga Kecamatan Mowila Soal Dugaan Serobot Lahan Hingga Janji Manis PT Merbau

Aksi Heroik Seorang Ibu Usir Aktivitas Tambang PT Rimau di Kecamatan Pomalaa

14 Unit Eskavator Disita Dari Lokasi Tambang Batu Ilegal di Konawe Selatan

Trending
-
Berita4 tahun ago
Walikota Kendari Nonjob Dua Calon Kadis Kesehatan Provinsi
-
Berita4 tahun ago
Aplikasi “SYANTIK” Jadi Andalan Provinsi Sultra Untuk Keterbukaan Informasi Data
-
Pemerintahan3 tahun ago
Wagub Sultra: Pengawasan Pemerintahan Ibarat Sistem Imun
-
Berita4 tahun ago
TGUPP Gelar Coffee Morning Bertema Promosi dan Publikasi Program Pembangunan Pemerintah Sultra
-
Pemerintahan3 tahun ago
Gubernur Sultra Raih Penghargaan Tokoh Penggerak Provinsi Kepulauan
-
Berita3 tahun ago
Demi Pertumbuhan Ekonomi, Kadin Sultra Harap Pemerintah Segera Ubah Status Covid-19 dari Pandemi ke Endemi
-
HUKRIM5 tahun ago
Pakai KTP Palsu, WNA China Obok-obok Nikel di Konawe Utara
-
Berita4 tahun ago
Jaringan Ahli Desak Pemerintah Hentikan Aktivitas Ilegal PT Daka Group