KENDARI – Perusahaan Daerah (PD) Aneka Usaha Kolaka dilaporkan ke Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) oleh Jaringan Pemerhati Investasi Pertambangan (J-PIP) atas dugaan tindak pidana pengrusakan kawasan hutan dan belum melakukan pembayaran denda administrasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Rabu (8/1/25).
Presidium Jaringan Pemerhati Investasi Pertambangan (J-PIP), Habrianto mengungkapkan, berdasarkan Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia (RI) Nomor SK:1217/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2021 Desember 2021 tahap III dan Nomor SK:196/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2023 tanggal 7 Maret 2023 tahap XI, tentang data dan informasi kegiatan usaha yang terbangun di dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan dibidang kehutanan.
PD Aneka Usaha atau Perusda Kolaka terindikasi melakukan kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi tanpa memiliki Surat Keputusan (SK) Pinjam Pakai Kawasan Hutan (PPKH).
“Hari ini, laporan kami telah diterima oleh Kejagung melalui Jampidsus dan semua data yang kami kantongi sudah kami lampirkan,” ungkap Habri.
Habri menjelaskan, berdasarkan kondisi real existing di lapangan serta dokumentasi yang mereka miliki, nampak beberapa tumpukan dump ore nickel masih berada di wilayah konsesi PD Aneka Usaha Kolaka dan diduga berada didalam kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi
“Tudingan kami diperkuat dengan data citra satelit yang diambil dari planet.com oleh KLHK RI pada Oktober Tahun 2023 lalu, bekas kegiatan pertambangan tanpa memiliki SK PPKH dan terdapat di dalam kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi,” jelasnya.
Menurutnya, dari luas 340.00 hektare wilayah konsesi PD Aneka Usaha Kolaka. perusahaan tersebut diduga telah mengeruk sekitar 117,48 hektare kawasan hutan yang dapat di konversi (HPK) tanpa mengantongi surat izin dari pemerintah atau PPKH. Sehingga perusahaan yang dinahkodai oleh Armansyah itu terindikasi telah melanggar pasal 110 B dalam Undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja.
Berdasarkan SK KLHK RI Nomor SK: 631 MENLHK/SETJEN/GKM.0/6/2023, tentang pengenaan sanksi administratif. PD Aneka Usaha Kolaka wajib membayar denda adimistratif sebesar Rp19,665 miliar. Namun ironisnya hingga saat ini perusahaan tersebut belum membayar sanksi.
“Tentunya ini merupakan pembangkangan hukum yang dilakukan oleh Direktur Utama (Dirut) PD Aneka Usaha Kolaka. Sebab merujuk pada aturan tentang pengenaan denda administratif, seharusnya perusahaan tersebut wajib membayar paling lambat 14 hari kerja sejak diterimanya keputusan menteri,” ucap Habri.
Secara kelembagaan pihaknya mendesak Jampidsus Kejagung RI agar segera memproses hukum dan memberikan sanksi tegas kepada Dirut PD Aneka Usaha Kolaka yang dinilai melakukan pembangkangan hukum serta semua oknum-oknum yang diduga terlibat atas dugaan tindak pidana illegal mining yang terjadi di wilayah konsesi Izin Usaha Pertambangan (IUP) PD Aneka Usaha Kolaka.
“Bukti yang kami pegang sangat jelas, baik itu dokumentasi kegiatan, hasil Audit BPK, SK KLHK, maupun Bukti transfer. Jadi, seyogyanya Jampidsus harus segera melakukan penindakan terhadap Dirut PD Aneka Usaha Kolaka maupun semua oknum-oknum yang terlibat dalam kegiatan tersebut,” harapnya.
Habrianto juga meminta Jampidsus Kejagung RI agar segera memanggil dan memeriksa pejabat Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara (Sultra) dan pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Gakkum KLHK yang tengah menangani kasus tersebut sejak tahun 2023, namun hingga saat ini belum mendapat kejelasan. Selain itu, Habri juga mendesak agar segera menelusuri aliran dana royalti PD Aneka Usaha Kolaka tahun 2023 dan 2024 yang diduga ada permainan.
“Informasi yang kami himpun, penerimaan royalti PD Aneka Usaha Kolaka sebesar 5,5 US Dollar per metrik ton (MT) dengan rincian 4 US Dollar pembayarannya melalui rekening PD Aneka Usaha Kolaka, sedangkan 1,5 US Dollar menurut sumber informasi yang kami himpun ditransfer melalui rekening lain maupun secara tunai,” terang Habri.
Habri bilang, jika melihat akumulasi jumlah kuota Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) PD Aneka Usaha Kolaka tahun 2023 dan 2024 sebesar 1.390.000 metrik ton dan jika dikalikan dengan kewajiban mitra yang bekerjasama operasi penambangan produksi biji nikel di wilayah konsesi PD Aneka Usaha Kolaka dengan hitungan berdasarkan nilai patokan Kurs Dollar 15.000 (1.390.000MTx5 US Dollarx15.000=Rp104,250 miliar).
“Jampidsus Kejagung harus segera menelusuri kemana aliran dana royalti PD Aneka Usaha Kolaka sehingga tidak mampu membayar denda PNBP di wilayah konsesi IUPnya,” tegas Habri.
Diberitakan sebelumnya Asisten Bidang Intelijen (Asintel) Kejati Sultra, Ade Hermawan membenarkan perkara ini sedang ditangani Kejati. Ia juga mengungkapkan bahwa PD Aneka Usaha Kolaka merupakan salah satu perusahaan yang mesti membayarkan denda administratif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH).
“Kami lagi melakukan verifikasi mengenai tata kelola keterlanjuran ini. Sementara masih tahap penyelidikan,” kata Ade Hermawan.
Asintel menambahkan, dari 50 perusahaan yang diundang untuk dimintai penjelasan akan dibagi menjadi 2 gelombang. Dalam penanganan perkara ini juga melibatkan Gakkum KLHK RI.
“PD Aneka Usaha sudah diundang dan mereka hadir,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Teknik Tambang (KTT) PD Aneka Usaha Kolaka, Ishak Nurdin yang dikonfirmasi via WhatsApp juga membenarkan hal tersebut. Ia bilang saat ini perusahaan tempatnya bekerja itu sedang menunggu E-billing dari KLHK untuk melakukan pembayaran denda administratif PNBP PPKH.
“Betul, Perusda belum bayar karena e-biling belum diterbitkan oleh KLH,” singkat Ishak Nurdin.