KENDARIMERDEKA.COM – Tim kuasa hukum YSM, mantan Kepala Bidang Mineral dan Batubara (Minerba) Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulawesi Tenggara (Sultra) menghadirkan dua saksi ahli dalam sidang lanjutan praperadilan atas penetapan kliennya sebagai tersangka dalam kasus izin pertambangan PT Toshida Indonesia, Jumat (16/7/2021).
Dua saksi ahli tersebut yaitu Prof. Dr. Abrar Saleh, SH, MH, Ahli Hukum Pertambangan dan Prof. Dr. Said Karim, SH. MH, MSi, Ahli Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana dan Hukum Tindak Pidana Korupsi. Keduanya merupakan guru besar di Universitas Hasanuddin.
Pada sidang praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Kendari Jumat (16/7) sore, Prof. Dr. Said Karim, SH. MH, MSi yang hadir sebagai Ahli Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana dan Hukum Tindak Pidana Korupsi pertambangan secara tersirat menerangkan bahwa Kejati Sultra tidak memiliki kewenangan dalam melakukan penyidikan yang berkaitan dengan kasus di bidang pertambangan.
Prof. Said Karim, menganalogikan dengan kasus hukum di bidang perpajakan, dimana yang berwenang melakukan penyidikan merupakan Aparatur Sipil Negara dari Dirjen Pajak. Menurut Prof. Said Karim jika penetapan tersangka dilakukan oleh penyidik yang tidak berwenang, maka penetapan status tersangka yang disandangkan adalah tidak sah atau cacat yuridis dan batal demi hukum.
“Namun kewenangan putusan tersebut merupakan hak dari yang mulia pimpinan sidang,” tambahnya.
Kemudian terkait perhitungan kerugian negara, Prof. Said Karim menjelaskan bahwa jika merujuk pada Keputusan Mahkamah Konstitusi dan Surat Edaran (SE) Mahkamah Agung Republik Indonesia (RI), mengisyaratkan secara tegas bahwa lembaga yang berwenang melakukan penghitungan kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.
“Tapi jika anda bertanya apakah ada kerugian negara yang dihitung oleh BPKP, maka dalam prakteknya, ada juga kerugian negara yang dihitung oleh BPKP,” Jelas Prof. Said Karim saat menanggapi pertanyaan pengacara termohon (Kejati Sultra).
“Tetapi yang tidak diperkenankan itu adalah penyidik melakukan perhitungan sendiri mengenai kerugian negara,” tambahnya lagi.
Sedangkan saksi ahli yang juga merupakan ahli hukum pertambangan, Prof. Abrar Saleh menjelaskan bahwa penertiban hukum dalam sektor kehutanan pada perkara Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) pertambangan merupakan wewenang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kata Prof. Abrar Saleh, dinas ESDM hanya memiliki tupoksi pada pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan di bidang pengawasan dan pengusahaan pertambangan.
Kemudian terkait Rencana Kerja dan Anggara Belanja (RKAB) perusahaan tambang, menurut Prof. Abrar Saleh, RKAB tidak berkaitan langsung dengan IPPKH.
“Namun untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan terutama di dalam kawasan hutan terlebih dahulu ada yang namanya IPPKH. IPPKH inilah yang kemudian melahirkan jenis dan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak di sektor kehutanan,” terangnya.
Sehingga menurut Prof. Abrar Saleh, eks Kabid Minerba Dinas ESDM Sultra YSM, tidak melakukan perbuatan melawan hukum hanya karena menandatangani RKAB perusahaan yang memiliki tunggakan PNBP.
“Karena tunggakannya itu di sektor kehutanan dan bukan menjadi tupoksi Kabid Minerba, YSM” jelasnya.
Sehingga menurut Prof. Abrar Saleh, disetujui ataupun tidak disetujuinya RKAB tahunan oleh YSM tidak akan mengurangi atau menghilangkan tunggakan PNBP PT Toshida.
Prof. Abrar juga meyakini bahwa di sektor kehutanan juga ada penegakkan hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang menunggak PNBP tersebut.
Di akhir penjelasannya Prof. Abrar Saleh berpesan dengan menyinggung adagium hukum yang sangat dikenal kalangan hukum yakni lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.