Notice: Fungsi _load_textdomain_just_in_time ditulis secara tidak benar. Pemuatan terjemahan untuk domain zox-news dipicu terlalu dini. Ini biasanya merupakan indikator bahwa ada beberapa kode di plugin atau tema yang dieksekusi terlalu dini. Terjemahan harus dimuat pada tindakan init atau setelahnya. Silakan lihat Debugging di WordPress untuk informasi lebih lanjut. (Pesan ini ditambahkan pada versi 6.7.0.) in /home/kendari2/public_html/wp-includes/functions.php on line 6121
Mengenal Beberapa Teori Hukum Dalam Peradilan Pidana di Indonesia. - Kendari Merdeka
Connect with us

Opini

Mengenal Beberapa Teori Hukum Dalam Peradilan Pidana di Indonesia.

Published

on

Oleh : Hendro Nilopo

Status : Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Jayabaya – Jakarta

Konsentrasi : Hukum Pidana

 

Teori hukum (bahasa inggris : legal theory) atau Yurisprudensi (bahasa inggris : jurisprudence) adalah pendalaman secara metodologis pada dasar dan latar belakang dalam mempelajari hukum secara luas. Terdapat beberapa perbedaan pendapat para ahli mengenai teori hukum, tetapi secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa teori hukum berbicara mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kosepsi-konsepsi hukum, prinsip-prinsip hukum, aliran-aliran atau pemikiran dalam hukum.

Kata teori berasal dari kata theoria (Bahasa Latin) yang berarti perenungan dan thea (Bahasa Yunani) yang menyiratkan sesuatu yang disebut relaitas.

Pengertian lain dari teori adalah sebuah sistem konsep abstrak yang mengindikasikan adanya hubungan di antara konsep-konsep tersebut yang membantu kita memahami sebuah fenomena. Teori juga merupakan salah satu konsep dasar penelitian sosial.

Teori hukum, memiliki pengaruh terhadap konstruksi hukum tentang bagaimana penggambaran hukum yang ideal (das sollen) dan bagaimana keterkaitannya dengan hukum di dunia nyata atau berdasarkan penerapannya (das sein). (Sumber : wikipedia)

Pada abad ke-5 sebelum Masehi, pemikiran tentang hukum baru mendapat akarnya pada zaman Yunani dengan tokoh pemikirnya yaitu Socrates, Plato, Aristoteles dan Epicurus.

Substansi utama pemikiran mereka adalah masalah-masalah kewajiban dan keharusan negara, keharusan adanya hukum oleh negara, masalah hukum dan keadilan. Inti dari pemikiran mereka adalah Negara diadakan untuk memberi keadilan yang sebesar-besarnya bagi rakyat dan dengan hukum keadilan itu diwujudkan.

Selanjutnya pada abad ke -17, pemikiran hukum mendapat penguatan-penguatan rasio secara tegas lagi. Hal ini terlihat pada tajamnya perbedaan pemikiran hukum alam, yang kemudian mengakibatkan perpecahan dan melahirkan dua aliran besar, yaitu :

Aliran hukum alam yang irrasional, yakni hukum alam yang bersumber pada rasio tuhan dan aliran hukum alam yang rasional, yakni hukum alam yang bersumber pada rasio manusia.

Pemikir-pemikir yang menonjol di abad ini diantaranya :

Hugo de Groot (1583 – 1645)
Samuel von Pufendor (1632 – 1694)
Christian Thomasius (1655 – 1728)
Benedictus de Spinoza (1632 – 1677), dan
John Locke (1632 – 1704)

Kemudian di abad ke-19 sampai abad ke-20, terjadi perubahan-perubahan besar yang bersifat revolusioner. Teori hukum mengalami perkembangan dengan pesatnya. Pada abad ke-19 tercatat lahirnya aliran-aliran filsafat hukum, seperti mazhab sejarah dan aliran hukum positif. Sedangkan abad ke-20 melahirkan dua aliran besar, yaitu SociologisJurisprudence dan Pragmatic Legal Realism.

Berawal dari 4 (empat) pemikir hebat, teori hukum banyak dilahirkan dan telah di aktualisasikan dalam berbagai sistemperadilan pidana di Indonesia saat ini.

Beberapa diantaranya, yakni :

Teori Absolut (teori pembalasan)
Teori Relatif (deterrence)
Teori Integratif
Teori Treatment, dan
Teori Perlindungan Sosial (social defense)

Teori Absolut (teori pembalasan)

Teori absolut atau teori pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah untuk yang praktis, seperti memperbaiki kejahatan. Teori ini cenderung memiliki tujuan untuk membalas perbuatan pelaku tindak pidana atau dengan kata lain, teori ini bukan bertujuan untuk memperbaiki pelaku tetapi semata-mata membalas perbuatan pelaku.

Teori absolut ini merupakan teori hukum klasik hukum pidana yang lahir pada abad pertengahan, dimana saat itu di wilayah Eropa raja-raja memiliki kekuasaan yang sangat absolut dan tidak ada batasan yang jelas mengenai perbuatan yang dapat di pidana maupun tidak.

Contoh :

Pelaku pembunuhan yang menghilangkan nyawa seseorang wajib juga untuk di bunuh.
Pelaku penganiayaan berat yang menghilangkan salah satu anggota tubuh dari korbannya harus di hukum sama dengan perbuatannya.

Teori Relatif (deterrence). Berbeda dengan teori absolut, teori relatif adalah teori yang lahir dari aliran modern hukum pidana yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan (Le Salut du people estla supreme). Karena itulah teori relatif tidak lagi bertujuan untuk membalas pelaku tindak pidana, tetapi bertujuan untuk memperbaiki pelaku, serta mencegah terjadinya tindak pidana dengan peraturan-peraturan yang dibuat untuk mencegah kejahatan.

Menurut von Feuerbach, pencegahan tersebut disebut psychologishcezwang atau paksaan psikologis. Dimana, dengan di sahkannya peraturan-peraturan dengan sanksi yang diancamkan kepada pelaku yang melanggar peraturan tersebut, maka niat jahat pelaku bisa berkurang sebelum pelaku benar-benar melakukan tindakan kejahatan.

Teori gabungan adalah teori yang menggabungkan teori absolut dan teori relatif. Teori gabungan ini berangkat dari pemikiran bahwa, baik teori absolut maupun teori relatif sama-sama memiliki kekurangan, sehingga kedua teori tersebut digabungkan untuk menutupi kekurangan satu sama lainnya.

Dalam teori gabungan, pidana di gunakan selain untuk membalas perbuatan pelaku, juga untuk memperbaiki pelaku agar pelaku tindak mengulangi perbuatan tindak pidana lagi di masa mendatang.

Teori treatment mengemukakan bahwa pemidanaan sangat pantas di arahkan kepada pelaku kejahatan dan bukan kepada perbuatannya. Teori ini memiliki keistimewaan dari segi proses re-sosialisasi pelanggu, sehingga diharapkan mampu memulihkan kualitas sosial dan moral pelaku tindak pidanaagar dapat beribtegrasi lagi ke dalam masyarakat.

Teori perlindungan sosial (social defence) Teori perlindungan sosial merupakan buah dari pemikiran hukum yang lahir dari aliran hukum modern. Teori ini bertujuan mengintegrasikan individu kedalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Teori ini telah di adposi dan menjadi referensi lahirnya Restoratif Justice. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Opini

Tanah Angata: Ketika Negara Tidak Lagi Berdiri di Pihak Rakyat

Published

on

Oleh: Andri Darmawan

Advokat, Pembela Kaum Lemah

Konflik agraria di Kecamatan Angata, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, adalah potret kecil dari wajah buram reforma agraria Indonesia. Konflik ini telah berlangsung selama hampir tiga dekade. Namun hingga hari ini, penyelesaiannya masih terkatung di tengah pertarungan kepentingan antara masyarakat dan kekuatan modal, sementara negara justru tampak absen atau bahkan ikut terlibat.

Sejak tahun 1996, warga di Kecamatan Angata—yang sebagian besar adalah petani dari suku Tolaki—menghadapi tekanan dari perusahaan swasta yang hendak membangun perkebunan tebu skala besar. PT Sumber Madu Bukari (SMB), perusahaan pertama yang masuk ke wilayah tersebut, melakukan proses pembebasan lahan yang bermasalah. Warga yang telah menggarap lahan secara turun-temurun—bahkan sejak abad ke-19—dipaksa menerima ganti rugi jauh di bawah nilai kesepakatan.

Parahnya, penggusuran rumah dan kebun bahkan dilakukan sebelum pembayaran tuntas. Termasuk penghancuran sekitar 40 makam leluhur yang masih dijaga masyarakat. Penolakan warga dibalas dengan intimidasi dan kriminalisasi. Puncaknya, pada tahun 1999, terjadi pembakaran fasilitas perusahaan oleh warga sebagai bentuk protes. Perusahaan pun akhirnya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta pada 2003.

Namun konflik tak berakhir di situ. Pada tahun 2012, PT Marketindo Selaras hadir sebagai entitas baru yang mengklaim sebagai penerus PT SMB. Perusahaan ini kembali melakukan penetrasi ke wilayah Angata tanpa dasar legalitas kepemilikan lahan yang jelas, khususnya Hak Guna Usaha (HGU). Masyarakat yang sejak pailitnya PT SMB telah kembali menggarap lahan secara mandiri selama lebih dari dua dekade, kini kembali dihadapkan pada ancaman penggusuran.

Dalam berbagai catatan lapangan, PT Marketindo Selaras disebut melakukan pendekatan yang kontroversial: pengukuran lahan tanpa persetujuan warga dan pemerintah lokal, dugaan manipulasi dokumen dukungan masyarakat, bahkan instruksi kepada karyawan untuk membawa senjata tajam saat penggusuran. Berbagai insiden kekerasan dilaporkan terjadi pada 2023 hingga awal 2025, termasuk penghancuran tanaman dan rumah warga.

Upaya mediasi telah dilakukan oleh pemerintah daerah, yang menghasilkan kesepakatan pada Oktober dan Agustus 2023. Intinya, perusahaan dilarang melakukan aktivitas di atas lahan seluas 1.300 hektare sebelum status kepemilikan diselesaikan sesuai hukum. Namun kesepakatan ini diabaikan. Negara kembali gagal menegakkan peraturan yang dibuatnya sendiri.

Ironisnya, keberpihakan negara justru tampak kabur. Kementerian ATR/BPN melalui Kanwil Sulawesi Tenggara bahkan disebut-sebut terlibat dalam pengukuran sepihak di atas lahan yang masih disengketakan. Surat permohonan pencekalan penerbitan HGU oleh masyarakat melalui organisasi Framathal-Bersatu diabaikan, meski telah mendapat atensi dari Direktorat Jenderal PPHTR.

Negara dan Keadilan yang Terpinggirkan

Padahal, dalam kerangka hukum nasional, konflik ini seharusnya menjadi perhatian utama dalam agenda Reforma Agraria. Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, PP No. 20 Tahun 2021, serta Permen ATR/BPN No. 20 Tahun 2021, menegaskan pentingnya penertiban tanah terlantar dan perlindungan bagi tanah-tanah yang telah digarap rakyat secara konsisten lebih dari 20 tahun.

Jika ketentuan tersebut ditegakkan, lahan yang telah digarap petani Angata sejak awal 2000-an jelas lebih layak dimasukkan ke dalam skema reforma agraria, ketimbang diserahkan kembali kepada entitas korporasi yang belum menyelesaikan tanggung jawab hukum dari masa lalu.

Kasus Angata seharusnya menjadi alarm keras bahwa konflik agraria di Indonesia tidak cukup diselesaikan dengan pendekatan mediasi administratif. Dibutuhkan keberanian politik, integritas hukum, dan keberpihakan yang jelas terhadap rakyat sebagai pemilik sah atas tanah yang mereka hidup di atasnya.

Mengapa Ini Penting?

Apa yang terjadi di Angata bukan hanya soal sengketa tanah. Ini adalah soal keadilan yang ditunda. Soal keberpihakan negara yang semakin kabur. Soal bagaimana hukum sering kali menjadi alat kekuasaan, bukan pelindung masyarakat.

Jika negara terus memihak pada korporasi, membiarkan aparat digunakan sebagai alat tekanan, dan menutup mata pada suara petani—maka narasi reforma agraria hanya akan menjadi hiasan di atas kertas. Dan tanah, yang semestinya menjadi sumber hidup, justru berubah menjadi medan pertempuran.

Petani Angata tidak meminta belas kasihan. Mereka hanya menuntut hak. Dan ketika rakyat harus melawan demi hak mereka sendiri, di situlah negara telah gagal menjalankan perannya.

Continue Reading

Opini

Upaya Mencari Kambing Hitam Dalam Pusaran Korupsi Pertambangan di Kolaka Utara

Published

on

Oleh : Direktur Aliansi Masyarakat Peduli Hukum Sulawesi Tenggara, Hendro Nilopo

KENDARI – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) kembali menunjukan eksistensinya dalam menyelamatkan kerugian negara dari sektor pertanbangan. Sebelumnya Kejaksaan membongkar praktik tindak pidana korupsi di dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT Aneka Tambang (Antam) UBPN Konawe Utara (Konut) pada tahun 2023 lalu.

Ditahun 2025, Kejati Sultra kembali mengungkap kasus dugaan tindak pidana korupsi pertambangan di Kabupaten Kolaka Utara (Konut) yang melibatkan beberapa perusahaan diantaranya PT Pandu Citra Mulia (PCM), PT Kurnia Mining Resource (KMR) dan PT Alam Mitra Indah Nugrah (AMIN).

Tak tanggung-tanggung 5 orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut baik dari pihak perusahaan maupun Syahbandar Kolaka. Beberapa pihak yang disinyalir terlibat dalam pusaran kasus korupsi pertambangan tersebut tentu merasa gemetaran karena rasa takut akan bayangan jeruji besi yang menanti.

Menariknya, ada pihak-pihak yang disinyalir sedang mencari kambing hitam agar bisa lolos dari deteksi dan jerat hukum. Adapun yang menjadi target kambing hitam adalah Kepala Wilayah Kerja (Kawilker) Pelabuhan Kolaka Utara.

Uraian asumsi dugaan korupsi tambang nikel Kolaka Utara yang sedang berkembang saat ini

Kasus tambang ilegal di Kabupaten Kolaka Utara yang saat ini sedang diusut oleh Kejati Sultra diperkirakan terjadi sekitar tahun 2023. Dimana pada saat itu kegiatan pertambangan dilakukan secara masif khususnya di dalam WIUP PT Pandu Citra Mulia (PCM) dan WIUP PT Kurnia Teknik Jayatama (KTJ).

Sedangkan yang menjadi fokus Kejati Sultra adalah kegiatan pertambangan ilegal di dalam WIUP PT PCM. Ore nikel yang dihasilkan dari kegiatan tambang ilegal dalam WIUP PT PCM di keluarkan melalui terminal khusus (Tersus) PT KMR dengan menggunakan dokumen terbang atau “Dokter” milik PT AMIN dan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) yang diterbitkan oleh Syahbandar KUPP Kelas III Kolaka.

Lantas dimana peran atau keterlibatan Kepala Wilayah Kerja (Kawilker) Pelabuhan Kolaka Utara?

Dalam beberapa informasi yang tersebar bahwa Kawilker Pelabuhan Kolaka Utara memiliki peran penting dalam meloloskan ore nikel ilegal yang dikeluarkan melalui terminal umum tanpa legal standing. Bahkan ada pihak yang mendesak Kejaksaan agar segera menetapkan Kawilker sebagai tersangka, karena diduga terlibat dalam pusaran kasus korupsi pertambangan di Kolaka Utara.

Standar Pelayanan Minimal (SPM), Surat Persetujuan Olah Gerak (SPOG) dan Surat Persetujuan Berlayar semua dilakukan melalui sistem online inapornet. Sedangkan yang berwenang menerbitkan SPB adalah KUPP Kelas III Kolaka.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk melibatkan atau menjerat Kawilker Pelabuhan Kolaka Utara dalam kasus tindak pidana korupsi pertambangan di Kolut yang sedang ditangani oleh Kejati Sultra merupakan sesuatu yang dipaksakan.

Kejati Sultra sebaiknya mendalami oknum-oknum yang berperan memalsukan dokumen yang diinput dalam sistem inapornet. Sebab ada indikasi pemalsuan data yang dimasukan dalam sistem inapornet sehingga SPB untuk PT AMIN bisa diterbitkan di terminal umum milik PT KMR.

Sistem inapornet saat ini bukan seperti dulu yaitu menandatangani by manual tetapi dengan barcode perhubungan yang disetujui atau diketahui oleh KUPP Kolaka sehingga SIB dapat diterbitkan.

Kontrak Kerja Terminal Umum PT KMR dengan PT AMIN

Dugaan kongkalikong data dan akal-akalan KUPP Kolaka untuk melancarkan proses penjualan hasil ilegal mining di bekas tambang PT Pandu dengan cara memberikan atau menyetujui terbitnya SIB. Di mana Termum PT KMR dan PT AMIN belum dikeluarkan pernyataan persetujuan dari Direktorat Jenderal (Dirjen) Perhubungan Republik Indonesia.

Continue Reading

Opini

Menebak Arah Kasus Supriyani

Published

on

Penulis: La Ode Muhram Naadu SH,MH (Akademisi Hukum)

 

KENDARI – Menuliskan ulasan sederhana ini memerlukan keberanian. Bisa saja saya terhakimi publik. Tapi itulah resiko berpendapat di negeri ini. Kita tidak bisa mengendalikan apa persepsi orang terhadap kita.

Bagaimanapun sentimen emosional harus dipisahkan. Seperti sentimen antipati terhadap kepolisian, sentimen peliknya nasib guru honorer (apalagi jika dikriminalkan), sentimen sulitnya mendapat keadilan di negeri ini yang cenderung bersemayam di sanubari masyarakat kita.

Kita harus murni melihat, mengidentifikasi alur data, fakta, informasi, isu dan hoaks. Memisahkan sentimen, kesedihan yang bukan pada tempatnya. Untuk kemudian mencari solusi yang terbaik tanpa harus membuat polusi.

Berhembusnya beberapa isu terkait Kasus Supriyani memantik amarah publik. Ada 3 hal yang menjadi isu utama. Pertama, korban adalah anak polisi yang dengan kekuatan kepolisiannya mampu mengatur-atur kasus ini. Kedua, ada permintaan uang 50 juta untuk damai. Ketiga, karena tidak mampu membayar uang damai Supriyani akhirnya ditahan oleh kepolisian.

Media sosial dengan keunggulan kecepatannya mengalirkan informasi dengan cepat. Ampuh menggiring netizen emosional dalam 3 isu utama di atas. Keberimbangan klarifikasi pun jadi terabaikan. Padahal wajib bagi kita untuk melihat informasi ini dari kedua sisi. Seperti harusnya media-media kita melakukan cover both side dalam setiap pemberitaannya.

Ketakutan saya adalah desain isu Kasus Supriyani menyembunyikan banyak misteri. Terlalu banyak “Argumentum Ad Misericodiam” yang cenderung disukai oleh netizen Indonesia, yang begitu kuat daya bacanya namun tidak dengan daya bacanya. Harus ditelisik lebih jauh 3 isu diatas, jangan sampai kita di “prank” seperti banyak fenomena isu di negeri ini.

Menjawab isu pertama, ini akan terjawab dengan memperhatikan tenggang waktu penyidikan dan terpenuhinya syarat ditetapkannya Tersangka bagi Supriyani. Sebagai data awal, kasus ini dilaporkan pada April. Telah terjadi mediasi beberapa kali. Kemudian ditahan di bulan Oktober.

Tenggang waktu untuk pemberkasan perkara dari pelaporan sampai penahanan sudah tepat. Kemudian telah terjadi mediasi beberapa kali menunjukan adanya niatan restoratif justice sebagaimana paradigma sistem peradilan perlindungan anak.

Tercatat beberapa pemberitaan yang menyebutkan kasus ini dikebut. Dengan melihat range waktu tersebut jelas terbantahkan. Kemudian pemberitaan bahwa Supriyani dijebak mengaku, ini akan terbuka dalam persidangan. Kalau memang dijebak, harusnya tidak terjadi mediasi berulang-ulang. Jika mengikuti dugaan itu harusnya setelah dijebak, buktinya cukup maka Supriyani langsung Tersangka, langsung ditahan. Kalau memang tidak sesuai prosedur harusnya pihak Supriyani ajukan praperadilan.

Kedua, persoalan permintaan uang 50 Juta untuk damai. Hal ini justru dibantah oleh Supriyani sendiri yang menyebutkan bahwa inisiatif itu bukan dari pihak korban/kepolisian namun dari kepala desa. Notabene awalnya muncul pemberitaan bahwa Supriyani diperas oleh penyidik. Kemudian muncul pula klarifikasi kepala desa yang relevan dengan pengakuan Supriyani.

Untuk menguji bahwa apakah benar diperas, perlu diidentifikasi siapa pelakunya dan motifnya apa. Persoalan siapa pelakunya terjawab oleh Supriyani. Persoalan motifnya akan terjawab bahwa jika 50 juta itu adalah kompensasi agar damai ; Supriyani tidak ditahan, harusnya pihak yang menahan Supriyani adalah kepolisian itu sendiri (yang dituduh mengatur-atur perkara ini). Namun kenyataannya, penahanan itu dilakukan oleh jaksa penuntut umum. Kemudian ditangguhkan oleh ketua pengadilan.

Ketiga, bahwa fakta Supriyani ditahan. Ini jelas dilakukan oleh jaksa penuntut umum pasca berkas dinyatakan lengkap. Kemudian karena desakan publik akhirnya ditangguhkan. Notabene yang menangguhkan adalah ketua pengadilan, bukan jaksa penuntut umum. Selama proses di kepolisian Supriyani tidak ditahan. Bahkan di mediasi beberapa kali dengan melibatkan UPTD PPA, KPAD, kepala desa, kepala sekolah.

Banyak pihak yang cenderung berkesimpulan didasari oleh sentimen yang terlanjur terbangun dalam paradigma masyarakat. Namun bagaimanapun kebenaran harus terkuak. Itu harus diteliti dan diperjuangkan. Arahnya jelas, kita bukan lagi saling menghukum atau saling menghabisi. Melainkan merestorasi, memulihkan sepeti kondisi semula, seperti esensi keadilan restoratif dalam pemidanaan baru kita.

Ulasan ini sangat sederhana. Tentu masih banyak yang ingin saya ulas. Namun penting untuk memastikan real dan validnya data yang ada, sembari menunggu waktu mengurai jejak-jejak kebenaran. Namun tak ada salahnya memperediksi keadaan yang akan terjadi. Karena sejauh ini warna dari peristiwa ini mulai mencolok. Tidak sesamar kemunculannya.

Aspek desakan sosial adalah salah satu variabel berpengaruh dalam penegakan hukum kita. Keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum selalu menjadi debatabel. Namun merebut simpati publik adalah hal yang sangat menggiurkan bagi sebagian orang. Ini akan jadi faktor utama.

Ada dua hal yang kemungkinan akan terjadi dari perkara ini :

Pertama,

Bola liar kasus ini menggelinding di kaki jaksa penuntut umum. Happy ending cenderung akan jadi pilihan terbaik. Bagaimanapun opini sudah dikuasai oleh publik, menekan bahwa Supriyani harus dibebaskan.

Saya menduga bahwa jaksa penuntut umum akan mengunci peran sebagai pihak yang akan memunculkan opsi ini. Dengan kewenangan bisa menuntut bebas Supriyani. Yah, karena di kepolisian sudah terkunci ; yakin bahwa Supriyani bersalah dan proses mediasinya gagal, meskipun sudah berupaya memediasi hingga diujung waktu.

Dengan arus besar opini publik, jaksa penuntut umum bisa saja akan bersikap inkonsisten. Meski dalam dakwaannya menuntut bahwa Supriyani bersalah namun dituntutannya Supriyani akan dituntut bebas. Dalam hal ini tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kekerasan.

Kenapa hal ini bisa terjadi?

Melihat jumlah bukti yang diajukan dan rentang waktu proses pemberkasan perkara, satu-satunya hal yang bisa membebaskan Supriyani adalah niat dan sikap batinnya dalam melakukan tindakannya (mens rea).

Meskipun secara teoritis ini masih bisa diperdebatkan, namun inilah satu-satunya argumentasi hukum yang bisa membuat Supriyani bebas. Dan pilihan ini menggiurkan ; siapa yang membebaskan Supriyani akan meraih simpati publik.

Kedua,

Skenario membebaskan Supriyani akan jadi pilihan dari pihak Supriyani sendiri. Cara yang paling simpel dan aman adalah mengakui kesalahannya bahwa benar ia memukul. Meskipun hal ini mengkonfirmasi bahwa tindakan kepolisian sudah benar. Polisi meskipun sudah benar namun publik sudah terlanjur menyalahkan secara membabi buta. Supriyani sudah memenangkan opini publik.

Pilihan ini jelas tidak merugikan Supriyani, karena memukul murid di negeri ini sudah menjadi barang yang lazim. Orang akan berpendapat bahwa dia wajar memukul, karena tujuannya membina. Meskipun menyebabkan lecet atau bahkan melanggar hukum.

Supriyani akan meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Dalam Perma 1/2024 ini bisa saja terjadi sebelum dilakukan penuntutan. Jika terjadi kesepakatan antara korban (bukan jaksa penuntut umum) dan terdakwa dan dilakukan dihadapan persidangan maka Supriyani akan bebas dan meraih banyak keuntungan. The winner takes it all. Dia bebas, dan menjalani statusnya bukan lagi sebagai guru honorer dengan memenangkan simpati publik sebagai pejuang keadilan.

Terakhir, mungkin saja dua hal di atas tidak akan terjadi jika jaksa penuntut umum konsisten dalam menegakan kepastian hukum dan pihak korban tidak memaafkan Supriyani. Namun kita lihat saja. Harapan saya adalah semua pihak harus dipulihkan kondisinya, tidak boleh perkara ini terdistorsi, termanfaatkan dan tertunggangi kepentingan lain. Kita fokus bagaimana keadilan restoratif bisa tercapai.

Seperti kata Pram, berlakulah adil sejak dalam pemikiran.

Continue Reading

Trending