KendariMerdeka.com – Desa Tapuwatu, namanya nyaris tak dikenal orang sebagai salah satu desa di Kabupaten Konawe Utara. Dalam bahasa daerah Konawe, Tapuwatu berarti ujung batu.
Menuju Tapuwatu, memakan waktu sekitar 20 menit dari Wanggudu, ibukota Kabupaten Konawe Utara. Lokasinya tepat berada di bantaran sungai Asera, sungai terbesar di Konawe Utara.
Wilayah ini porak poranda, hancur bagai diterjang tsunami saat bencana banjir Konawe Utara, Jumat (7/6/2019). Dari 80 rumah, hanya tersisa 5 rumah saja yang masih berdiri.
Sebanyak 75 rumah lainnya, hilang tak berbekas diterjang banjir bandang setinggi 6 meter. Kondisi makin parah, saat banjir datang disertai material lumpur, pohon dan bebatuan.
Lima rumah yang tersisa, nyaris roboh dan sudah bergeser dari tempatnya semula. Tak bisa lagi ditinggali, karena diselimuti lumpur tebal bersama material bebatuan.
Kondisi Desa Tapuwatu.
Saat Kendarimerdeka.com mendatangi wilayah ini, yang nampak seperti lapangan luas dengan pepohonan dan semak, semuanya berwarna kecokelatan. Padahal, lokasi ini tempat berdirinya 75 rumah yang dibangun memanjang di pinggir sungai Asera.
Sepanjang sisi kiri-kanan jalan masuk desa sepanjang 300 meter, hanya terlihat sisa-sisa perabotan warga yang hanyut. Semuanya telah rusak, tertutup lumpur tebal setinggi 1 meter.
Beberapa warga yang nampak berada di lokasi pada Sabtu (22/6/2019) siang, terlihat mengais-ngais lumpur. Berusaha menemukan perabotan dapur yang tak sempat diselamatkan.
Erwin (38) salah seorang warga Desa Tapuwatu yang ditemui di lokasi, terlihat pasrah mengamati rumahnya yang hanya tersisa lantainya saja. Sedangkan dinding dan tiangnya, hanyut di sungai terbawa banjir.
“Saya mungkin tak akan tinggal disini lagi. Tetapi, saya belum tahu akan tinggal dimana,” ujar Erwin, Sabtu (22/6/2019).
Dia melanjutkan, masih trauma saat banjir menerjang desanya. Air sungai yang naik dengan cepat saat tengah malam, membuatnya tak bisa menyelamatkan barang berharga miliknya.
“Malam itu, saya hanya bisa bawa istri dan anak-anak serta baju di badan. Keluarga juga hanya pakai baju di badan saat mengungsi,” ujar pria yang memiliki 4 orang anak ini.
Kisah Bano, Lansia Yang Gagal Panen
Bano (61), warga Desa Walalindu Kecamatan Asera, Konawe Utara hanya bisa meratapi 5 hektar sawah miliknya yang gagal panen. Sawahnya kini nampak seperti lapangan luas, bersih tak meninggalkan jejak tanaman padi.
Padahal, seandainya banjir menerjang satu minggu lagi, Bano sudah akan panen. Hasil kerja kerasnya selama berbulan-bulan, musnah dalam sekejap pada Jumat (7/6/2019).
“Saya habis kasian, tak tahu mau bikin apa. Rumahku juga habis, meskipun bertingkat dua, namun penuh lumpur,” ujar wanita dengan 7 anak itu.
Dia menceritakan, sawah miliknya juga memiliki pematang dengan tanaman sayur-sayuran. Setiap hari dijual, dijadikan penghasilan andalan untuk membeli kebutuhan di dalam rumah.
“Tapi, semuanya habis. Tak ada lagi sumber uang, tak ada lagi apa-apa,” ujar Bano.
Dia mengatakan, sudah 40 tahun lebih menempati Desa Walalindu. Seumur hidup, dia pertama kali mengalami bencana melihat banjir paling parah di dalam hidupnya.
“Disini, air sungai sering naik tapi paling sebatas mata kaki. Untung saya selamat,” ujarnya.
Bano menjadi satu dari 28 warga korban banjir di desanya. Sebanyak 7 rumah hanyut ke Sungai Asera, 21 lainnya nyaris roboh dan bergeser dari tempatnya.
Bano mengungkapkan, banjir besar yang datang tengah malam, langsung menghanyutkan rumah warga. Salah seorang anaknya bernama Tasjuddin (30), langsung mencari tali panjang dan mengikatkan rumah mereka pada sebatang pohon.
“Untung diikat, kalau tidak hanyut atau roboh,” ujar Bano.
Sekolah Tertimbun Lumpur
Salah satu sekolah di Kecamatan Asera juga menyisakan cerita pilu. Puluhan siswanya kini tak bisa belajar lagi di sekolah yang sudah tertimbun lumpur.
Saat banjir mulai surut pada 15 Juni 2019, gedung SMPN 1 Asera dipenuhi lumpur. Endapannya bahkan hingga setinggi 1 meter d halaman sekolah dan di dalam kelas.
Hingga Sabtu (22/6/2019), lumpur mulai mengeras dan seperti tanah biasa. Jika tak dibersihkan cepat, sekolah terancam rusak dan tak bisa digunakan lagi.
Sedangkan bangunan sekolahnya, nyaris roboh diterjang banjir. Masih berdiri, bangunan rusak parah usai terendam banjir hingga dibagian atap gedung.
Alisa (13), salah seorang pelajar SMP yang berhasil ditemui di lokasi mengatakan, sudah dua Minggu lebih tak menempati sekolahnya. Dia dan 28 orang rekannya, mencari sekolah yang berada diatas gunung untuk melanjutkan ulangan semester yang tertunda.
“Kami ulangan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 03 Asera, bergabung sama anak SD,” ujar Alisa.
Alisa mengatakan, baju dan buku-bukunya hanyut. Yang tersisa hanya beberapa pasang saja.
“Sudah enam hari ulangan, kami bergiliran sama anak SD pakai ruangan,” lanjut Alisa.
Pengungsi Bertambah 9.609 Orang
Jumlah pengungsi usai banjir Konawe Utara bertambah menjadi 2.502 orang kepala keluarga. Jumlah keseluruhan pengungsi sudah mencapai 9.609 orang.
Ribuan orang masih menempati tenda darurat di sekitar lokasi banjir hingga Sabtu (22/6/2019). Dengan persediaan makanan dan pakaian yang mengandalkan bantuan relawan.
Data lainnya, ada 370 rumah hanyut di sungai. Sisanya, sebanyak 1.962 unit rumah terendam.
Bupati Konawe Utara, Ruksamin memastikan tidak ada warganya yang kekurangan makan dan kelaparan. Sebab, bantuan logistik yang ada di Konawe Utara mencukupi.
“Alhamdulillah, tidak ada korban jiwa. Kami meminta masyarakat bersabar, karena Pemda Konawe dan Pemerintah pusat akan siap membantu,” ujar Ruksamin.
Dia melanjutkan, akan membangun hunian sementara bagi warganya. Bisab
Kerusakan banjir Konawe Utara tak hanya rumah dan bangunan umum. Sebanyak 4 unit jembatan hanyut dan 4 lainnya tak bisa diakses.(***)