KendariMerdeka.com – Teluk Kendari menyimpan banyak cerita. Saat ratusan prajurit negeri matahari, negara Julukan Jepang masuk menyerbu.
Disini, tersimpan kisah betapa mereka pernah mengagumi matahari. Di Kendari, Jepang juga pernah mengubur mimpi besar menguasai asia.
Mulai dari berdirinya pelabuhan udara sebagai markas pertahanan pasifik, hingga cerita benteng di teluk sebagai pertahanan laut dan udara yang tak selesai sampai mereka angkat kaki.
Cerita dimulai awal 1942, kala gerombolan tentara bermata sipit mulai masuk setelah serangan besar-besaran di Pangkalan pasukan sekutu di pelabuhan militer Pearl Harbor, Kepulauan Hawaii.
Sebelum ke Kendari pada 26 Januari 1942, Jepang yang haus perang sudah menguasai Selat Makassar pada 10 Januari. Lalu, dengan armada udara dan angkatan lautnya, Jepang berhasil merebut Maluku pada 20 Januari 1942, enam hari sebelum menginjakkan kaki di tanah Kendari.
Sejak masuk dan melihat-lihat kondisi kota, tentara Nippon ternyata sudah langsung jatuh hati. Di sepanjang jalan pinggiran teluk hingga Pelabuhan Nusantara Kendari, bukti-bukti masih menyisakan tanda, tentara Jepang pernah menyimpan rasa.
Bahkan, hingga di Kelurahan Mata, Kecamatan Kendari, tersimpan rapi jejak ketaatan Jepang terhadap tuhan mereka, Amaterasu–sang Dewi Matahari.
Lokasinya hari ini, tepat menghadap mulut teluk. Disana, berdiri sepucuk meriam. Begitu warga setempat menyebutnya, padahal ia sebilah senapan mesin besar.
Senjata baja itu berada di dalam bunker kecil, sejenis mortir semi otomatis tercanggih pada zamannya. Panjangnya 3,5 meter dan lebar moncong 8 sentimeter, diarahkan tepat ke sebuah titik di teluk Kendari.
Bukan titik sembarangan, moncongnya tepat mengarah ke matahari terbit. Mereka percaya, berkat Amaterasu tak akan meninggalkan mereka saat musuh nekat menampakan hidung dari arah Laut Banda.
La Ode Ali Ahmadi, salah seorang tour guide dan arkeolog asal Kota Kendari menceritakan kejadian yang dialaminya beberapa tahun lalu. Saat itu, dia diminta menemani seorang turis wanita asal Jepang.
“Dia kebetulan dikontrak oleh sebuah proyek tambang di Kolaka. Kebetulan, dia ke Kendari dan mengajak saya ke suatu tempat di teluk,” cerita La Ode Ali Ahmadi.
Turis tersebut, hanya berbekal sebuah foto kakeknya di sebuah perbukitan menghadap teluk Kendari. Di dalam foto yang dia bawa, nampak potret kakeknya yang disebutnya tentara, berdiri dibelakang matahari terbit berlatar pegunungan di wilayah Kendari Caddi, zaman dahulu.
Sambil memuji, dia menceritakan, betapa kakeknya kerap berkisah tentang matahari di tanah Kendari. Kisah itu, terus diulang kepada anak cucunya, hingga sampai kepadanya.
Jepang tidak hanya masuk dengan membawa kekuasaan, namun membawa semangat membangun yang masih dirintis sebagian warga hingga hari ini.
“Di sekitar gunung jati, ada beberapa pompa air yang dibangun tentara Jepang, untuk pendistribusian air di wilayah Kendari yang lebih rendah,” ujar La Ode Ali Ahmadi memulai ceritanya, Rabu (13/11/2019).
Air dari Gunung Jati Kendari kemudian disalurkan ke rumah-rumah warga dan pos pertahanan Jepang di sepanjang teluk. Manfaatnya, warga lebih mudah mengakses air segar daripada mengambil air sumur yang berdekatan dengan laut.
Hari ini, sejumlah warga lokal sudah memanfaatkan air yang mengalir di sekitar gunung jati untuk menunjang kehidupan sehari-hari. Dengan mesin pompa, pemilik mengalirkan air kepada warga lainnya yang bermukim di bawah bukit, tentunya dengan dibayar iuran rutin setiap bulan.
Belasan gua juga diduga sudah dibangun di sepanjang teluk. Salain sebagai benteng, goa-goa ini dijadikan tempat menyimpan perbekalan tentara yang diangkut dari kapal perang yang berlabuh di teluk.(**)