KendariMerdeka – Tahun-tahun transisi antara 2008 hingga 2009 Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, menjadi daerah primadona. Daerah yang baru saja lepas dari kabupaten induknya, yakni Kabupaten Buton tersebut seperti Indonesia kecil. Berbagai latar belakangan manusia dari sabang sampai merauke memadati tempat ini.
Hal ini disebabkan karena temuan kandungan emas dibawah tanah Bombana. Gubernur Sulawesi Tenggara kala itu, Nur Alam mengatakan, ditemukannya lokasi tambang emas di Lembah Sungai Tahi Ite dan Wububangka, Kecamatan Rarowatu dan Rarowatu Utara, Kabupaten Bombana.
Sontak kabar ini membuat masyarakat hadir di Bombana. Wilayah ini menjadi lokasi pertambangan emas rakyat. Masyarakat dari berbagai pelosok nusantara berdatangan ke lokasi tersebut untuk mendulang emas. Berbekal peralatan manual seperti wajan, cangkul, linggis dan sekopang, emas Bombana dikeruk.
Seiring berjalannya waktu, pemerintah Bombana, menutup penambangan dengan alasan pengaturan lebih baik. Ratusan petugas keamanan dari Polisi, Brimob, TNI dan Satpol PP bersiaga di beberapa lokasi. Setiap warga menambang wajib memiliki surat izin terbitan Dinas Pertambangan setempat.
Untuk masyarakat lokal biaya administrasi Rp50.000, bagi warga pendatang registrasi Rp100.000. Dengan masa berlaku surat izin enam bulan. Menurut catatan Dinas Pertambangan, pada masa itu terdata sekitar 6.000 penambang! Belum lagi yang menambang tanpa izin. Bahkan pada 2008 hingga 2009, diperkirakan kunjungan ke Bombana mencapai 60.000 orang. Tentu jumlah tak sedikit.
Setelah tambang rakyat dihentikan, pemerintah provinsi akhirnya mengambil alih wilayah Bombana dengan dalih investasi. Pemerintah menjual kandungan sumber daya alam (SDA) Bombana tersebut ke investor. Berselang beberapa saat, izin usaha pertambangan (IUP) terbit.
Pemilik IUP emas yang berhasil dihimpun diantaranya PT Panca Logam Makmur, PT Tiran Indonesia dan PT Sultra Utama Nikel (SUN) selain IUP emas adanya IUP nikel di Pulau Kabaena, Bombana. Ironisnya, seiring dengan berjalannya waktu, beberapa tahun melakukan eksploitasi di tanah Bombana, kurun waktu 2009 hingga 2018, rupanya perusahaan-perusahaan tersebut tidak mendompleng Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Untuk sektor SDA meliputi pertambangan, perkebunan dan pertanian Pemda Bombana hanya mengumpulkan Rp 25 milyar pertahun. Data ini dipublis pada tahun 2018 lalu. Saya juga mencoba menghimpun data dari Katadata.co.id, rata-rata PAD Bombana dari 2008 hingga 2013 hanya bermain diangka Rp 20 milyar hingga Rp 30 milyar per tahun.
Menuntut Ilmu Bertaruh Nyawa
Dibuktikan dengan sulitnya puluhan anak-anak sekolah dasar (SD) menuju sekolah di Kelurahan Tampabulu, Kecamatan Poleang Utara, Bombana. Mereka mengarungi sungai menggunakan rakit seadanya. (Foto Egi)
PAD yang minim itu membuat infrastruktur daerah ini juga belum maju. Masih ada daerah-daerah yang wilayahnya belum tersentuh pengembangan infrastruktur pemerintah. Terisolir. Tahun 2019 saya menyaksikan ini, contoh jalan dan jembatan penyebrangan yang tidak baik. Dibuktikan dengan sulitnya puluhan anak-anak sekolah dasar (SD) menuju sekolah di Kelurahan Tampabulu, Kecamatan Poleang Utara, Bombana. Mereka mengarungi sungai menggunakan rakit seadanya.
“Sudah puluhan tahun seperti ini keadaannya,” kata Bhabinkamtibmas, Polres Bombana, Brigadir Kadek Oko Budiana.
Kadek adalah sala salah satu polisi yang paham betul wilayah Dusun Larete Honda, Kelurahan Tampaulu. Sudah dua tahun polisi berpangkat brigadir ini menjadi Bhabinkamtibmas. Mengunjungi Tampabulu, saya melewati waktu berjam-jam dari Kota Kendari akhir Januari 2019 lalu.
Malam tepat pukul 20.00 WITA, saya menginjakan kaki disalah satu rumah warga disana. Kemudian sedikit berbagi cerita dengan Kadek yang datang usai mengetahui kedatangan saya di Tampabulu. Kadek mengatakan bahwa setiap pagi waktu sekolah, puluhan anak-anak SD dusun Larete Honda bersiap mengarungi sungai secara bergiliran.
Puluhan anak sekolah tersebut dikatakan Kadek, merupakan anak dari puluhan petani yang berada di Dusun Larete Honda. Sejak puluhan tahun lalu para petani memang sudah mendiami lahan disebelah sungai Poleang yang membentang hingga ke laut Bombana. Belum ada akses ke lokasi tersebut selain mengarungi sungai menggunakan rakit.
Pagi hari pukul 05.00 Wita saya sudah bersiap-siap menuju lokasi bersama Kadek. Sesampainya di bibir sungai, saya menyaksikan puluhan anak sekolah yang siap mengarungi sungai menggunakan rakit. Ada yang ditemani orang tua secara langsung, ada yang berangkat sendiri. Semuanya melepaskan alas kaki. Sepatu sekolah disimpan di kantong plastik.
“Seragamnya tidak dipakai dulu. Nanti setelah didekat sawah baru mereka pakai,” kata Kadek.
Sawah yang dimaksud adalah jalan yang sering dilalui anak-anak menuju sekolah. Kadek mulai menaiki rakit mengarungi sungai menjemput anak sekolah. Lebar sungai sekitar 20 meter lebih (perkiraan). Jika tidak ada Kadek, anak-anak ini siap mengarungi sendiri sungai menggunakan rakit, yang sisi depannya diikat tali, kemudian tali ikatannya digantungkan ke tali lain yang membentang diatas sungai.
Satu persatu anak-anak tersebut diangkut menggunakan rakit. Kadek menarik tali, tanda rakit mulai diarungkan. Sedikit saja salah bergerak diatas rakit, semua penumpang bisa terjun ke sungai. Saling bantu, sekitar 30 menit akhirnya semua anak-anak sekolah sampai dibibir sungai tempat beristirahat.
“Mau pergi sekolah diatas (kampung sebelah). Biasa juga terlambat, kalau keras arus sungai pasti kita terlambat,” kata Irvan, siswa kelas V SD Tampa Bulu.
Melewati sungai, karena dusun ini terisolir, untuk dapat ke pusat desa harus melewati Kali Poleang. Tidak ada akses jalan yang bisa dilalui kendaraan roda dua, maupun roda empat. Jarak Dusun Larete Honda ke pusat Desa Tampabulu sekitar 10 kilo meter. Belum ada perencanaan pemerintah untuk membangun jalan alternatif guna mempermuda akses pertanian dan anak sekolah.
Saat saya menyaksikan aktivitas ini, saya melihat anak perempuan berumur 7 tahun bernama Janna. Ia siswi kelas 1 SD Tampa Bulu. Kaki Janna kotor dan penuh lumpur. Keadaan ini setiap hari ia alami kala menuju sekolah. Lumpur itu melengket dikakinya karena rusaknya jalan dari rumahnya ke rakit, alat transportasi menuju sekolah.
“Disawah pi baru sa (saya) pakai sepatu,” tuturnya.
Usai melewati sungai, Janna dan rekan-rekannya beristirahat dipinggiran beton irigasi sawah. Kaki mereka dicelupkan disitu. Satu persatu dari merekah membersihkan kaki kemudian memakai sepatu. Saya melihat, lumpur sebagian melengket di baju anak-anak sekolah ini. Namun ini bukan halangan, yang terpenting sampai ke sekolah dari menimba ilmu.
Waktu sudah menunjukan pukul 07.00 Wita, sementara mereka masih terus berjalan menuju sekolah. Untungnya, jam pelajaran dimulai. Pukul 08.00 Wita sampai, mereka bisa sedikit beristirahat sembari menikmati, minuman oky jeli dring. Minuman instan di sekolah Janna hanya dua merek, oky jely dring dan Maxi Mineral.
Saya menemui Muchdori selaku kepala sekolah SD 104 Tampa Bulu, Poleang Utara, Bombana. Ia bercerita, karena aktifitas anak sekolah menyebrang sungai, guru-guru memberikan kebijaksanaan dikala mereka terlambat. “Kita tahu betul bagaimana kondisi anak-anak itu,” kata Muchdori.
Banyak harapan yang dititip masyarakat di Dusun Larete Honda kepada pemerintah setempat. Mereka ingin ada jembatan penghubung dari dusun mereka ke pusat desa. Kalau itu belum bisa, mereka berharap ada bantuan perahu penyeberangan yang melayani. Muchdori mengatakan, pihak sekolah tidak bisa berbuat apa-apa soal infrastruktur tersebut.
“Kami hanya bisa berikan kebijaksanaan. Kalau misalkan terlambat yah kita tahu. Pertanyaannya pali hanya, naik air yah? Itu saja,” jelasnya lagi.
Namun walau begitu, kepala sekolah mengapresiasi semangat anak-anak sekolah di Dusun Larete Honda. Disaat anak-anak kota menimba ilmu dengan segala kemajuan seperti infrastruktur, teknologi dan penunjang lain, anak-anak Dusun Larete Honda walau seadanya tetapi masih ingin bersekolah.
Dilain waktu, saya menemui Kepala Desa Tampabulu, Arifin, ia mengaku sulit untuk membangun jembatan di wilayah dusun terisolir itu. Alasannya, dana desa dipastikan tidak akan cukup untuk dialokasikan ke pembuatan jembatan baru. Namun ia mengaku sudah mengajukan program kepada pemerintah setingkat lebih tinggi diatasnya.
“Sebenarnya ini kan ada jembatan penghubung. Hanya memang jauh harus mutar mereka. Akses jalan pun hampir tidak ada. Mendingan kita pakai saja untuk pembangunan jalan ke wilayah itu. Ada akses hanya memutar dan memang masih rusak dan jauh jaraknya,” terang Arifin.
Alasan lain yang dikemukakan oleh Arifin adalah jumlah kepala keluarga yang bermukim di Dusun Larete Honda yang dinilai sangat sedikit. Memang, jumlah KK di dusun itu hanya 15. “Sudah kita ajukan di pemda. Hanya belum terealisasi. Tapi semoga ada bantuan tahun ini,” kata Arifin.
Irfan dan Janna adalah bagian terkecil dari kondisi Bombana. Sebenarnya jika diliat lebih jauh, kondisi infrastruktur di wilayah ini masih banyak yang belum tersentuh pembangunan. Di Kabaena misalkan, jalan daerah ini rusak parah. Dari ibu kota pulau ini, Kecamatan Sikeli menu Desa Tedubara, Kecamatan Kabaena Utara, jalannya rusak parah. Selain itu, jaringan komunikasi hanya bisa didapat di Jetty milik PT Surya Saga Utara, perusahaan smelter milik Rusia.
Selain di Bombana, saya juga menyaksikan infrastruktur yang buruk di Kabupaten Konawe. Karena tidak adanya sarana infrastruktur jalan yang memadai salah satu kecamatan yakni di Routa, Kabupaten Konawe, menjadi terisolir. Untuk mencapai kecamatan itu warga sampai harus melintasi provinsi lain yakni Sulawesi Selatan. Jarak tempuh kurang lebih sembilan jam menggunakan kendaraan darat.
Kecamatan Routa merupakan salah satu kecamatan yang kondisinya sangat memprihatinkan. Karena tidak adanya akses jalan penghubung antara ibu kota Kabupaten Konawe dengan Kecamatan Routa, sehingga masyarakat kesulitan mengakses sarana publik seperti rumah sakit, sekolah dan kantor pemerintahan. Untuk dapat mencapai daerah ini terelbih dahulu warga harus melintasi Sulawesi Selatan.
Selain akses jalan dari ibu kota ke Routa, akses jalan yang menghubungkan antara satu desa dengan desa yang lain harus pula dilalui dengan menyeberangi sungai dan melintasi jalanan terjal berbatuan. “Karena buruknya infrastruktur jalan menyebabkan warga kesulitan untuk menjual hasil pertanian mereka,” kata Risman salah seorang kepala desa di Routa.
Program Pembangunan Belum Berjalan Maksimal
Anak-anak sekolah dasar (SD) menuju sekolah di Kelurahan Tampabulu, Kecamatan Poleang Utara, Bombana. Mereka mengarungi sungai menggunakan rakit seadanya. (Foto: Egi)
Beberapa tahun setelah Kabupaten Bombana menjadi daerah otonom baru atau DOB, progres pembangunan daerah dianggap belum maksimal. Padahal, sejauh ini Bombana dikenal sebagai daerah penghasil emas terbaik di Sultra, sehingga harusnya pemasukan daerah berjalan lurus dengan nilai pembangunannya.
Saya mendatangi Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JADI), Hidayatullah, katanya infrastruktur buruk di Bombana itu tentunya membuat prihatin dan sepertinya Pemda tidak memiliki komitmen yang sama dengan pemerintahan pusat saat ini.
Dayat begitu orang-orang memanggilnya, terus menjelaskan bahwa komitmen untuk meningkatkan pembangunan infrastruktur tercermin dalam program kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pada pemerintahan Jokowi ini pembangunan infrastruktur menjadi prioritas pemerintah saat ini.
“Bahkan APBN kita sejak 2015-2019 ini kalau mau diakumulasi untuk infrastruktur itu berkontribusi sampai 2000 (dua ribu) lebih triliun. Nah bagaimana dengan Pemda Bombana? Berapa kontribusi APBD terhadap pembangunan infrastruktur sampai masih terdapat infrastrutur buruk didaerah penghasil tambang dan pertanian ini,” tanya dia.
Menurut dia, perencanaan pembangunan infrastruktur di Bombana oleh Pemda tidak matang dan masih amburadul pemetaannya. Harusnya, infrastruktur lebih utama karena katanya pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi saling berkaitan untuk menciptakan lingkaran kemakmuran disuatu daerah.
“Saya kira pemerintah dimanapun bisa memahami bahwa pembangunan infrastruktur menghasilkan efek ganda, yakni penurunan kemiskinan dan pertumbuhan secara inklusif.” jelasnya.
Keuntungan ganda tersebut menurut Dayat diperkirakan dapat terwujud karena pembangunan infrastruktur dapat menggerakkan aspek kesempatan promosi terhadap sumber daya alam dan sumber daya manusia, bisa menurunkan kerentanan terhadap krisis, dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi.
Yang perlu difokuskan katanya soal infrastruktur adalah pemetaan kebutuhan masyarakat dan peningkatan kapasitas. Disini kelemahan pemeritahan daerah di Sultra khususnya tidak fokus pada pemetaan kebutuhan masyarakat dan peningkatan kapasitas seperti yang ia jelaskan.
“Ada memang infrastruktur dibangun tapi kontraproduktif dengan kebutuhan masyrakat kita, bahkan menguntungkan pihak kelancaran bisnis dan investasi pemodal saja,” kritiknya.
“Olehnya itu, semua pemda kita ini berkaitan dengan infrastruktur dapat memetakan kebutuhan masyarakat. Pada jenis apa infrastruktur yang dibangun, infrastruktur dibangun agar dapat terbukanya peluang bagi penduduk miskin untuk berusaha dan bekerja, serta kemampuan (kapabilitas) untuk melakukan usaha,” tambah dia.(***)
(Catatan : Di Kecamatan Routa saya hanya melintas untuk mengunjungi salah satu desa di Konawe Utara)
Sumber: www.kandai.id