Notice: Fungsi _load_textdomain_just_in_time ditulis secara tidak benar. Pemuatan terjemahan untuk domain zox-news dipicu terlalu dini. Ini biasanya merupakan indikator bahwa ada beberapa kode di plugin atau tema yang dieksekusi terlalu dini. Terjemahan harus dimuat pada tindakan init atau setelahnya. Silakan lihat Debugging di WordPress untuk informasi lebih lanjut. (Pesan ini ditambahkan pada versi 6.7.0.) in /home/kendari2/public_html/wp-includes/functions.php on line 6121
Demo Warga Puosu Jaya Soal Lahan, Brimob: Sudah Ada Putusan Mahkamah Agung - Kendari Merdeka
Connect with us

Berita

Demo Warga Puosu Jaya Soal Lahan, Brimob: Sudah Ada Putusan Mahkamah Agung

Published

on

KENDARIMERDEKA.COM, KENDARI – Sekelompok massa yang mengatasnamakan warga dari Desa Puosu Jaya, Kecamatan Konda, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), menggelar unjuk rasa di depan Markas Komando Brimob Polda Sulawesi Tenggara (Sultra), Senin (12/9/2022) pagi.

Unjuk rasa itu terkait persoalan lahan warga yang diduga dikuasai oleh Brimob Polda Sultra.

Berdasarkan pantauan awak media ini, personel Brimob mempersilahkan massa untuk masuk ke dalam Mako Brimob guna membahas terkait lahan yang dipermasalahkan.

Namun terlihat pengunjuk rasa tidak mau menerima tawaran tersebut tanpa alasan. Kemudian masa membubarkan diri setelah menolak tawaran dialog oleh Brimob Polda Sultra.

Unjuk rasa yang berlangsung di depan Mako Brimob Polda Sultra itu tidak berlangsung lama. Massa membubarkan diri setelah menyampaikan aspirasinya.

Pelaksana Harian (Plh) Dansat Brimob Polda Sultra, Kombes Pol Hari Ganda Butar Butar, angkat bicara terkait status lahan yang sampai saat ini masih dipersoalkan oleh sebagian warga.

Hari menjelaskan, status lahan telah memiliki kekuatan hukum berdasarkan SK 137 tahun 1980 dan dikuatkan dengan putusan Mahkamah Agung (MA).

“Lokasi yang dimaksud diklaim oleh beberapa warga diatas sudah berproses secara perdata bahkan sampai tingkat Mahkamah Agung (MA) dengan Putusan Nomor perdata 51/I2006/1844k/ 2004, bahwa lokasi diatas adalah sah kepemilikan Sat Brimob Polda Sultra,” jelasnya kepada media.

Hari menyebut, tanah tersebut sudah bersertifikat dengan NIB : 21.07.04.09.00511, tertanggal 25 September 2015. Sertifikat terlampir, dan ini sudah masuk dalam SIMAK BMN, yakni Sistem Informasi Manajemen dan Akuntansi (SIMAK) Barang Milik Negara (BMN).

“Perlu dijelaskan bahwa tanah seluas 120 hektar (Ha) diserahkan oleh Bupati Kendari Andri Jufri, S.H. berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati No. 137/1980 tanggal 6 Agustus 1980 kepada Polri cq. Polda Sulawesi Selatan dan Tenggara (Sulselra), dan setelah melalui proses penelitian yang dilakukan oleh Tim 9 dan Tokoh Masyarakat waktu itu, diantaranya H. Surabaya dan kawan-kawan (dkk) dan Camat waktu itu adalah Abdul Samad, BA,” bebernya.

Lanjut Hari, status lahan yang dipersoalan oleh warga Desa Puosu Jaya. Dulunya, lahan tersebut merupakan hutan belantara, penuh semak belukar dan banyak pohon Longgida, namun ada sekitar 20an Hektar (Ha) yang sudah ada tanda-tanda bekas parit dan yang inilah kemudian dimintakan ganti rugi oleh masyarakat setempat pada akhir tahun 1980.

Kemudian pada tahun 1981 tepatnya tanggal 9 Januari 1981, Bupati Kendari memberikan ganti rugi kepada mereka yang menuntut melalui perwakilannya yakni Ahmad Malaka, seorang pensiunan TNI yang merupakan tokoh masyarakat setempat sekaligus keturunan Raja Sao Sao sebesar Rp .1.000.000,-.

Lalu Ahmad Malaka membagikan kepada masyarakat lain yang mengklaim tanah dari 20an Hektar (Ha) dimaksud, yang tentunya jumlah uang saat itu adalah sangat besar bandingannya dengan saat ini.

Pada tahun 2001, ada sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan keluarga pemilik tanah, yang sejak zaman dahulu menggugat keberadaan tanah dimaksud di Pengadilan Negeri (PN) Kendari, namun gugatannya ditolak dalam arti kata dimenangkan oleh Polda Sultra, hal mana telah mempunyai kekuatan hukum tetap berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia (RI) tahun 2005.

“Karena mereka tidak puas dengan kekalahan dimaksud, objek sengketa dijual kembali (apa benar dijual atau tidak atau hanya siasat) yang kemudian dikuasai oleh Bapak Zaami Rianto cs hingga saat ini, meskipun sudah disertifikatkan,”bebernya.

Laode Proyek yang juga Kuasa Hukum Sat Brimobda Polda Sultra ini mengungkapkan, bahwa pertanyaan mendasar bagi saudara (i) yang sudah komentar tanpa disertai pengetahuan yang jelas.

“Sampai kapan ada kepastian hukum apabila masyarakat sudah mengetahui jika tanah yang sudah berperkara dibeli kembali dengan harga murah dengan hanya alasan sebagai milik leluhur?”. Hal yang sama juga dilakukan oleh Kepala Desa Puosu Jaya saat ini, yang senyatanya mengetahui bahwa lahan tersebut adalah lahan Resetlement Polri yang sudah melalui proses hukum, namun tetap nekat membeli pada tahun 2020?,” ungkap Hari.

Sejarah Lahan Restlement Polri Sat Brimob Polda Sultra

Pada tahun 1970-an, awalnya tanah di Desa Lamomea, dahulunya merupakan hamparan hutan belantara.

Hutan ini dijadikan sebagai tempat perburuan oleh warga sekitar untuk mencari Rusa dan Anoa.

Adanya kondisi itu, membuat warga pada saat itu enggan menjadi areal tersebut untuk digarap karena masih alami dengan keberagaman hewan buas lainnya.

Seiring dengan perkembangan waktu, tahun 1980-an Panglima ABRI Jenderal Muhamad Yusuf mengeluarkan Program Transmigrasi lokal untuk meningkatkan kesejahteraan anggota ABRI terutama yang sudah pensiun, maka Tanah Hutan tersebut dijadikan Areal Tranmigrasi Lokal oleh para Purnawirawan Polri seluas 120 Ha.

Untuk menindak lanjuti rencana Panglima ABRI tersebut, Berdasarkan Surat Kadapol XIV Sulselra No.Pol.: 18 / 3029/ XII / 1977 tanggal 6 Desember 1977 yang isinya antara lain, agar Para Dan/Ka. mengusahakan areal tanah di daerahnya untuk calon lokasi Restlement. Tahun 1977, Danres 1451 Kendari berkoordinasi dengan Camat Ranomeeto Abdul Samad, tentang program Panglima ABRI Jenderal M. Yusuf saat itu untuk mensejahterakan Anggota ABRI. Sehingga dibutuhkan Lokasi tanah untuk Program Resetlemen Polri tersebut.

Tahun 1977, Kepala Desa (Kades) Lamomea, Muhammad Yamin, sebagai perpanjangan tangan Camat Ranomeeto, menunjuk areal persiapan Resetlemen Polri dan melaporkannya kepada Camat Ranomeeto, Abdul Samad.

Lalu pada tahun 1978, Abdul Samad, Danres 1451 Kendari dan Muhammad Yamin, H.Surabaya dan H. Lahusweng serta Brigadir (Pur) Aladin turun ke lokasi untuk meninjau Tanah Lokasi Persiapan Resetlemen Polri. Berdasarkan Surat Kapolres Kendari No.Pol.: Log res / 1851 /2/ I / 1978 tanggal 2 Januari 1978, melaporkan bahwa tanah yang dimaksud telah disiapkan.

Lanjut pada Tahun 1979, Camat Ranomeeto mengajukan Permohonan tertulis kepada Direktorat Agraria untuk melakukan pengukuran dari tanah yang ditunjuk Muhammad Yamin untuk Persiapan Resetlemen Polri.

Kemudian hasil pengukuran diserahkan ke Bupati Daerah Tingkat (Dati) II Kendari yang saat itu dijabat oleh Andri Jufri. Sehingga, keluarlah Surat Keputusan Pemerintah Kabupaten Tingkat II Kendari Nomor : 137 /1980 tanggal 6 Agustus 1980 tentang Penunjukan Areal Tanah Negara Bebas di Desa Lamomea Kecamatan Ranomeeto untuk Lokasi Persiapan Resettlement Polri dengan LUAS TANAH 120 Ha.

Persiapan Resetlement Polri itu juga berdasarakan Surat Keputusan Pemerintah Kabupaten Tingkat II Kendari Nomor : 187 /1980 tanggal 11 Oktober 1980, tentang Penunjukan Areal Tanah Negara Bebas di Desa Lamomea Kecamatan Ranomeeto untuk Penambahan Lokasi Persiapan Resettlement Polri dengan luas tanah 15 Ha. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1981 ternyata telah ditemukan berupa parit dan pagar kebun milik Ahmad Malaka.

Sehingga pada saat itu Pemda Kota Kendari langsung melakukan ganti rugi Tanah Seluas 12 Ha dengan nilai Sebesar 1 Juta Rupiah kepada Ahmad Malaka.

Kemudian selanjutnya, berdasarkan Surat Kadapol XIV Sulselra No.Pol.: B/2447/XI/1982 tanggal 18 November 1982, dijelaskan terkait perihal larangan penerbitan sertifikat hak milik di atas areal tanah pemukiman Polri unit IV Lamomea Kecamatan Ranometo.

Surat Keputusan Kapolwil Sultra An Kapolda Sulselra No. Pl.: Skep / 33 / XII / 1986 tanggal 31 Desemeber 1986 tentang Penunjukan Para Purnawirawan Polri (Warga Pemukiman Polri Unit IV ) untuk mendapatkan Tanah garapan.

“Tercantum namanya dalam lampiran I SK 33/86 ini, apabila tidak menggarap lahannya dalam jangka 6 (enam) bulan, maka tanah garapan tersebut DITARIK.”

“Tercantum namanya dalam lampiran II SK 33/86 ini, apabila tidak menggarap lahannya dalam jangka 3 (tiga) bulan, maka tanah garapan tersebut DITARIK.”

Agar Lebih terarah Pelaksanaan Program Translok sehingga Berdaya guna dan Berhasil guna serta Penguasaan Tanah lebih Maksimal, maka Kapolda Sulselra ketika itu mengeluarkan Surat Keputusan No.Pol.: Skep/142/III/1992 tanggal 12 Maret 1992 tentang Mengangkat/ Menunjuk para Kapolres sebagai Pembina Pemukiman Polri di wilayah masing-masing.

Sehingga kebijakan Kapolres Kendari menunjuk beberapa anggota Polri yang masih aktif untuk menggarap lahan yang belum terbagi kepada purnawirawan dengan tujuan untuk menguasai lahan.

Dengan bergulirnya reformasi di tahun 1998 maka terbentuklah Polda Sultra. Sehingga kebutuhan pasukan sesuai dengan tuntutan kondisi situasi Kamtibmas di era reformasi, yang mana Fungsi Kepolisian di kedepankan dalam Penegakan Hukum, Perlindungan dan Pengayoman masyarakat serta pemberantasan KKN yang mana disisi lain kondisi Polda Sultra yang baru Mekar dan banyak membutuhkan Personil, maka pada tahun 1997 Lulusan Bintara PK dari SPN Batua sebanyak 150 orang dan 87 orang Lulusan Tamtama dari Watukosek ditempatkan pada Fungsi Brimob di Polda Sultra.

Dengan situasi anggota Sat Brimob Polda Sultra yang belum memiliki Markas Komando tersendiri, maka pada tahun 1998 Letnan Kolonel Juned Ahmad (Wakapolda Sultra) melakukan koordinasi dan sosialisasi kepada warga Translok Purnawirawan Polri yang mendiami areal 120 Ha Tanah Resettlemen Polri, untuk meminta sebagian dari tanah Resetlemen untuk dibangun Markas Komando Sat Brimob Polda Sultra. dengan dasar Surat Deputi Logistik Polri An. Kapolri No.Pol.: B/1715/V/1998/ASLOG tanggal 20 Mei 1998.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita

Ampuh Sultra Desak Bea Cukai Kendari Cabut Izin Kawasan Berikat Morosi PT VDNI

Published

on

KENDARI – Aliansi Masyarakat Peduli Hukum (Ampuh) melakukan aksi demonstrasi di depan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) TMP C Kendari, menuntut agar segera mencabut izin Kawasan Berikat Morosi yang di kelola oleh PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI).

Desakan tersebut disuarakan menyusul adanya temuan terkait dugaan penyeludupan atau pengeluaran barang dari Kawasan Berikat Morosi oleh PT VDNI tanpa dokumen resmi sejak tahun 2023 – 2025.

Direktur Ampuh Sultra, Hendro Nilopo mengatakan, sikap PT VDNI yang secara sengaja melakukan pengeluaran barang dari Kawasan Berikat Morosi tanpa didukung dengan dokumen resmi tidak dapat di tolerir lagi.

Sebab kata Hendro, hal serupa sudah pernah di lakukan oleh managemen PT VDNI yang mengakibatkan pembekuan Kawasan Berikat Morosi oleh KPPBC TMP C Kendari.

“Jadi PT VDNI bukan hanya kali ini saja melakukan pelanggaran Kawasan Berikat, tetapi sudah di lakukan sejak tahun 2023 lalu dan bahkan sudah pernah di bekukan izin Kawasan Berikatnya. Tapi sekarang masih juga di ulangi,” kata Hendro kepada media ini, Kamis, (17/7/25).

Hendro menjelaskan, kegiatan pengeluaran barang dari Kawasan Berikat Morosi oleh PT VDNI tanpa di lengkapi dengan dokumen resmi seperti BC 4.1 dan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang dari Tempat Penimbunan Berikat (SPPB-TPB) telah melanggar aturan yang ada diantaranya, peraturan Direktur Jendral Bea Cukai Nomor Per-7 /BC/2021 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jendral Bea Cukai Nomor Per-30/BC/2024 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Tempat Penimbunan Berikat.

Kemudian Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor : 65/PMK.4/2021 tentang Perubahan atas PMK Nomor : 131/PMK.4/2018 tentang Kawasan Berikat.

“Pada pasal 27 ayat (1) di sebutkan, pengeluaran barang dari Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 setelah mendapat persetujuan oleh Pejabat Bea dan Cukai dan/atau SKP,” jelasnya.

Kemudian, lanjutnya “di pertegas lagi pada Pasal 27 ayat (2) bahwa Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat, atau PDKB yang mengeluarkan barang sebelum mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan Izin Kawasan Berikatnya dibekukan,” bebernya.

Oleh sebab itu, mahasiswa S2 Ilmu Hukum UJ Jakarta itu menilai, syarat untuk pencabutan izin Kawasan Berikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan telah terpenuhi.

“Dari segi aturan sudah terpenuhi untuk di lakukan pencabutan Kawasan Berikat Morosi, tinggal bagaimana sikap dari KPPBC TMP C Kendari, apakah mereka berani menegakkan aturan atau tidak,” imbuhnya.

Usai melakukan aksi demonstrasi di Kantor KPPBC TMP C Kendari, Ampuh Sultra kemudian melakukan pelaporan resmi terkait potensi kerugian negara yang diduga di timbulkan akibat kegiatan pengeluaran barang dari Kawasan Berikat Morosi secara ilegal sejak tahun 2023 – 2025.

“Untuk pelanggaran administrasi itu gawean KPPBC Kendari, sementara pelanggaran hukum atau dugaan korupsinya kami laporkan di Kejati Sultra,” terang pengurus DPP KNPI itu.

Lebih lanjut, Hendro menjelaskan terkait potensi kerugian negara dalam praktik pengeluaran barang secara ilegal dari Kawasan Berikat Morosi Oleh PT VDNI sejak tahun 2023 – 2025.

“Jadi kalau pengeluaran barang dari Kawasan Berikat di lakukan sesuai dengan prosedur yang ada, maka ada yang namanya penangguhan atau pembebasan bea masuk dan pajak impor. Tetapi karena di lakukan secara ilegal maka keistimewaan itu harusnya tidak berlaku,” ungkapnya.

Sehingga dengan demikian, seluruh barang yang di keluarkan dari Kawasan Berikat Morosi sejak tahun 2023 – 2025 secara ilegal harus di kenakan pembayaran bea masuk dan pajak keluar.

“Ini yang mesti di bongkar oleh Kejati Sultra, kemana uang bea masuk dan pajak keluar dari semua barang yang di keluarkan oleh PT VDNI dari Kawasan Berikat Morosi sejak tahun 2023 lalu,” pungkasnya.

Continue Reading

Berita

KADIN Kolaka Gagas Kolaborasi UMKM dan Smelter PT CNI dalam Hilirisasi

Published

on

KOLAKA – Hilirisasi bukan hanya urusan industri besar. Itulah pesan utama yang ingin ditegaskan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Kabupaten Kolaka dalam kunjungan resminya ke kawasan industri PT Ceria Nugraha Indotama (CNI), Rabu 16 Juli 2025.

Ketua KADIN Kolaka, Vebrianti Safruddin, menyampaikan bahwa proses hilirisasi nasional harus menjadi ruang partisipasi bagi pelaku usaha lokal, termasuk UMKM. Ia menilai Smelter Merah Putih milik PT CNI sebagai proyek yang tepat untuk membangun ekosistem usaha yang inklusif.

“Kita tidak bisa membiarkan hilirisasi hanya dinikmati pemain besar. KADIN hadir untuk memastikan manfaat ekonomi juga dirasakan pelaku lokal,” kata Vebrianti dalam pertemuan tersebut.

Dalam agenda itu, KADIN Kolaka juga menyampaikan kesiapan untuk berkolaborasi dalam pelatihan tenaga kerja, pembinaan UMKM, dan promosi investasi daerah.

Menurut Vebrianti, infrastruktur industri seperti smelter membutuhkan dukungan ekosistem ekonomi yang sehat dan adaptif.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Operasional PT CNI, Yusram Rantesalu, mengapresiasi peran aktif KADIN. Ia menegaskan bahwa proyek smelter ini tidak hanya untuk kepentingan perusahaan, melainkan juga bagian dari tanggung jawab terhadap pembangunan daerah.

“Kami menyambut baik semua pihak yang ingin terlibat. Hilirisasi hanya akan berhasil kalau dikerjakan bersama,” ujar Yusram.

Selain berdiskusi, pengurus KADIN juga diajak meninjau langsung lokasi pembangunan smelter. Progres proyek, sistem keselamatan kerja, dan strategi keberlanjutan menjadi bagian penting dalam paparan teknis dari manajemen PT CNI.

Dalam sesi akhir, perwakilan KADIN Sultra, Supriadi, mengajak agar kunjungan ini tak berhenti di seremoni. Ia berharap terbangun kerja sama konkret antara dunia usaha lokal dan industri besar, baik di sektor rantai pasok, pengolahan, hingga ekspor.

Direktur Eksekutif KADIN Kolaka, Rahmat Ansari, menutup dengan pernyataan tegas: “Smelter Merah Putih harus menjadi simbol keberhasilan daerah mengambil bagian dalam pembangunan nasional.”

 

Continue Reading

Berita

Perusahaan Tambang Diduga Milik Adik Mantan Gubernur Sultra dan Pelanggaran yang Menghiasi Jejaknya

Published

on

KONAWE UTARA – PT Daka Group, sebuah perusahaan tambang yang beroperasi di Kecamatan Lasolo Kepulauan, Kabupaten Konawe Utara (Konut), Sulawesi Tenggara (Sultra), belakangan ini menjadi sorotan publik. Perusahaan yang diketahui memiliki saham mayoritas sebesar 97,5 persen oleh keluarga mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi, kini menghadapi berbagai dugaan pelanggaran yang diduga terjadi dalam operasional tambangnya.

PT Daka Group bukanlah nama asing bagi masyarakat Sultra. Pemilik utama perusahaan ini diduga adalah Sahrin adik dari Ali Mazi, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara yang kini menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Saham sebesar 97,5 persen yang dimiliki keluarga Ali Mazi menempatkan mereka sebagai pemegang kendali penuh terhadap jalannya perusahaan tambang yang terletak di kawasan yang kaya akan sumber daya alam ini, memiliki aktivitas utama dalam sektor penambangan mineral dan logam.

Namun, dengan besarnya kepemilikan saham oleh keluarga Ali Mazi, beberapa pihak mulai mempertanyakan potensi konflik kepentingan yang terjadi, terutama dalam hal izin lingkungan dan keberlanjutan sosial di kawasan sekitar.

Beberapa laporan yang diterima oleh media ini menyebutkan bahwa aktivitas tambang PT Daka di Kecamatan Lasolo Kepulauan diduga telah melanggar sejumlah regulasi lingkungan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Isu yang kini menjadi sorotan adalah lokasi jetty PT Daka diduga masuk dalam kawasan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Lasolo tanpa perizinan yang cukup. Selain itu, Aktivitas pemuatan biji nikel di pelabuhan jetty PT Daka berdampingan dengan bangunan SD Negeri 3 Lasolo Kepulauan.

Lembaga Persatuan Pemuda Pemerhati Daerah (P3D) Konut mengungkapkan kekhawatiran bahwa limbah berbahaya yang tidak dikelola dengan baik bisa mencemari sumber daya air yang digunakan oleh masyarakat sekitar serta dugaan eksploitasi dunia pendidikan di Bumi Oheo.

“Selain dugaan masuk dalam kawasan TWAL Teluk Lasolo tanpa izin, wilayah jetty Daka Group juga berdampingan dengan gedung SDN 3 Lasolo Kepulauan. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran berkepanjangan terhadap dampak lingkungan dan pendidikan di Konawe Utara,” ungkap Jefri, Ketua Umum P3D Konut.

Rencana relokasi gedung sekolah sebagai kompensasi yang diberikan PT Daka nampaknya hanya sebatas iming-iming. Sebab janji itu diucapkan sejak 2019, tetapi hingga pertengahan Juli 2025, pelaksanaannya belum dilakukan.

“Sudah enam tahun lebih sejak rencana relokasi dicetuskan, SDN 3 Lasolo masih bertahan di kawasan bahaya jetty tanpa relokasi. Jika implementasi terus tertunda, risiko kesehatan dan pendidikan siswa semakin urgensi untuk diatasi,” ucap pria yang karib disapa Jeje.

P3D Konut menilai, dugaan pelanggaran yang melibatkan perusahaan dengan keterkaitan politik yang cukup kuat, seperti PT Daka Group, menyisakan tantangan besar bagi Pemerintah Daerah (Pemda) dan otoritas terkait dalam menegakkan hukum. Pasalnya, keberadaan perusahaan besar yang didukung oleh tokoh berpengaruh seringkali menjadi hambatan bagi proses penegakan hukum dan keadilan di lapangan.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara melalui Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama dengan lembaga-lembaga lingkungan hidup diharapkan dapat melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap perusahaan-perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah ini.

“Ini untuk memastikan bahwa semua kegiatan tambang berlangsung dengan adil, transparan, dan memperhatikan kelestarian lingkungan dan tanggung jawab sosial,” cetus Jeje. 

Ke depan, P3D berharap agar PT Daka Group dapat menjalankan operasionalnya dengan lebih memperhatikan aspek sosial dan lingkungan. Keterlibatan aktif pemerintah dan masyarakat dalam pengawasan perusahaan tambang juga menjadi salah satu kunci utama dalam menciptakan keseimbangan antara perkembangan ekonomi dan pelestarian lingkungan.

“Dengan adanya pengawasan yang lebih ketat dan regulasi yang jelas, diharapkan industri tambang di Sultra dapat tumbuh secara berkelanjutan, tanpa mengorbankan hak-hak masyarakat,” tukasnya.

Hingga berita ini diterbitkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak perusahaan. Sementara Kepala Teknik Tambang (KTT) PT Daka Group, Takdir yang sebelumnya bisa terkonfirmasi melalui telepon seluler tiba-tiba bungkam dan menghapus semua pesan singkat yang telah ia kirim.

Continue Reading

Trending