KENDARI – Aliansi Petani Angata Konawe Selatan (Konsel) bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara (Sultra), Selasa (28/11/2023).
Diketahui, kedatangan ratusan masyarakat petani Angata ke Polda Sultra, tidak lain untuk menuntut keadilan, setelah salah satu petani dipenjarakan, usai dilaporkan oleh sebuah perusahaan perkebunan bernama PT Marketindo Selaras (PT MS) atas kasus dugaan tindak pidana pembakaran lahan.
Direktur Eksekutif Walhi Sultra, Andi Rahman mengatakan, penangkapan dan penetapan tersangka terhadap petani bernama Nderi oleh Polres Konsel, dinilai cacat hukum, dan dianggap prematur. Petani yang mengolah lahan tersebut, merupakan lahan yang telah diolah sejak 20 Tahun lalu.
Pasalnya, menurut dia, sejak Tahun 2002, lahan garapan seluas 1.300 hektar yang diolah PT Sumber Madu Bukari (PT SMB), tidak pernah sah secara hukum. Sama halnya peralihan kuasa perusahaan ke PT MS pada Tahun 2019 juga cacat hukum dan inprosedural.
Hal itu dibuktikan dengan hasil Penetapan Hakim Pengadilan Niaga (PN) Jakarta Nomor: 33/Pailit/2003/PN.Niaga/JKT PST tertanggal 20 Februari 2004. Dimana, kala itu, tercatat aset yang dimiliki PT SMB pabrik gula seluas 66,24 hektar termasuk mess, kendaraan, tanah pelepasan kawasan Hutan 12.600 hektar yang di dalamnya terdapat lahan ploting 1.300 hektar yang terletak di Desa Motaha, Puao, Teteasa, Lamooso dan Sandarsi Jaya.
“Akan tetapi dalam lampiran aset, lahan ploting 1.300 bukan bagian dari aset PT SMB,” tutur dia.
Kemudian Pengadilan memberikan kuasa kepada Kurator Doma Hutapea untuk menjual aset PT SMB yang dijaminkan pada pihak Bank BNI karna ada calon pembeli. Tetapi dalam perjalanannya, yang tampil sebagai kurator adalah Didick Miftahuddin selaku pemegang kuasa PT SBM, yang telah menjual lahan ploting 1.300 hektar kepada PT MS pada Tahun 2009 lalu.
Padahal, dokumen tersebut tidak bisa diperjual belikan karena cacat hukum. Sementara dalam pengikatan Perjanjian Jual Beli (PPJB) antara Didik Miftahuddin dengan PT MS saat itu tidak dibarengi dengan akta jual beli (AJB) lahan antara PT SBM dan masyarakat dibeberapa desa diatas.
“Sehingga lahan yang diklaim PT MS, tidak berdasar. Masyarakat yang sudah bertahun-tahun mengolah dibuktikan dengan tanamam, lantas dilaporkan ke polisi. Ini adalah bentuk kriminalisasi yang dilakukan Polres Konsel,” ucap dia.
Selain itu, mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, negara berwenang serta bertanggung jawab memberikan kedaulatan tanah kepada rakyat sebagaimana amanat UUD Pasal 33, yang menjadi salah satu dasar atau landasan konstitusional berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Menurut Andi, Masyarakat Kecamatan Angata sudah lebih dari 20 Tahun membuktikan penguasaan tanah. Hal tersebut ditandai dengan adanya aktifitas masyarakat dalam pengelolaan lahan dalam bentuk perkebunan dan tanaman yang menjadi penghidupan masyarakat seperti sagu, jambu mete, jati putih dan palawija sebagai bentuk kehidupan lokal yang perlu dilestarikan.
Kemudian, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 24 ayat (2), menunjukan penguasan tanah masyarakat terhadap tanah garapan selama lebih dari 20 Tahun tidak berubah hingga hari ini menjadi landasan untuk masyarakat Angata memiliki penguasaan tanah secara legal.
Dengan tegas Andi mengatakan, tidak ada alasan PT MS datang dan mengklaim lahan ploting seluas 1.300 hektar. Jadi, jika alasan perusahaan melaporkan petani, karena telah melakukan pengrusakan lahan dengan cara membakar lahan itu tidaklah benar. Lahan yang dimaksud, merupakan lahan yang sudah diolah petani turun temurun.
“Polres Konsel secara terang melakukan kriminalisasi terhadap petani Angata dengan Pasal 187 ayat 1 juncto, Pasal 55 ayat 1 KUHP yang dilakukan serampangan dan cacat prosedural secara hukum dalam melakukan penangkapan hingga pelimpahan penahanan ke Polda Sultra,” tegasnya.
Dikesempatan yang sama, Jumardin salah satu perwakilan Aliansi Petani Angata mengutuk keras atas tindakan intimidasi dan upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh Polres Konsel terhadap petani.
Dalam kesempatan itu pula, ia meminta kepada Kapolda Sultra untuk menghentikan penangkapan, intimidasi dan kekerasan pada petani dan masyarakat adat yang membela hak atas tanah. Terpenting lagi, penegakkan reforma agraria untuk kedaulatan dan kesejahteraan rakyat.
“Terakhir, kami meminta dan mendesak agar kepolisian membebaskan petani yang telah ditahan sejak 27 November 2023 kemarin. Apabila tidak dilakukan, maka warga yang hadir ini, akan menginap di Polda sampai permintaan massa aksi dipenuhi,” pungkasnya.