KENDARI – Upaya pemerintah dalam melakukan pengembalian kerugian negara dari aspek penggunaan kawasan hutan tanpa izin makin intens dilakukan.
Pada awal Tahun 2023, Pemerintah Republik Indonesia (RI) melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menerbitkan daftar perusahaan yang melakukan kegiatan usaha pertambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin.
Diantaranya adalah perusahaan tambang PT Adhi Kartiko Pratama (PT AKP) yang berlokasi di Kabupaten Konawe Utara (Konut), Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).
Direktur Aliansi Masyarakat Peduli Hukum (Ampuh) Sultra, Hendro Nilopo, melalui keterangan tertulisnya mengungkapkan, berdasarkan data yang ada, PT AKP diduga menggarap kurang lebih 577,48 Hektar Kawasan Hutan.
“Berdasarkan data yang ada, luas bukaan kawasan hutan oleh PT AKP mencapai 557,48 hektar,” ungkapnya, Sabtu (21/9/23).
Aktivis nasional asal Konawe Utara itu menyebut, bahwa pada Tanggal 7 Maret 2023, KLHK RI mengeluarkan Surat Keputusan Nomor : SK.196/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2023 tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha Yang Telah Terbangun Di Dalam Kawasan Hutan Yang Tidak Memiliki Perizinan Di Bidang Kehutanan Tahap XI.
Dalam Surat Keputusan tersebut PT AKP tercatat sebagai perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di dalam kawasan hutan tanpa izin atau diluar dari izin yang dimiliki (jika ada).
“Jadi ini data real dari KLHK, sehingga kami sebagai mitra Pemerintah wajib untuk menyampaikan kepada pihak berwajib agar segera dilakukan penindakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” jelas Hendro.
Apalagi, kaya Hendro, PT AKP merupakan perusahaan pertama yang mendapatkan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) pada Tahun 2022 lalu.
“Tahun 2022 lalu PT AKP ini merupakan perusahaan pertama yang mendapat persetujuan RKAB, sehingga PT AKP dinilai sebagai perusahaan yang tertib administrasi. Namun faktanya telah terjawab saat ini melalui dugaan kejahatan kehutanan mereka lakukan,” ucapnya.
Mahasiswa S2 Ilmu Hukum Universitas Jayabaya Jakarta itu menuturkan, berdasarkan aturan yang ada, dalam hal ini Undang-undang Cipta Kerja PT AKP dikenakan sanksi administratif.
Akan tetapi, jika kejahatan kehutanan tersebut dilakukan setelah berlakunya Undang-undang Cipta Kerja atau perusahaan yang dimaksud masih melakukan kegiatan sebelum menyelesaikan sanksi administrasi, maka perusahaan yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi pidana.
“Skema penyelesaisannya sesuai dengan Pasal 110 B Undang-undang Cipta Kerja, karena kejadiannya sebelum Undang-undang Cipta Kerja berlaku. Sebaliknya, jika dilakukan setelah Undang-undang Cipta Kerja berlaku maka sanksinya pidana,” ungkapnya.
Hendro menjelaskan, bahwa dalam Undang-undang Cipta Kerja yang menjadi prioritas adalah sanksi adminidtratif termaksud kejahatan kehutanan.
“Jadi yang berkaitan dengan Undang-undang Cipta Kerja itu prioritasnya sanksi administratif, beda dengan Undang-undang yang lain yang prioritasnya pidana atau perdata,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Hendro Nilopo meminta kepada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sultra agar segera memanggil dan memeriksa Pimpinan PT Adhi Kartiko Pratama.
“Pimpinan PT AKP harus segera dipanggil dan diperiksa perihal penyelesaian sanksi administratif atas penggunaan Kawasan Hutan tanpa izin,” pintah Hendro.
Ia juga meminta Kejati Sultra untuk berkoordinasi dengan pihak KLHK guna percepatan pembayaran denda administratif atas kejahatan kehutanan di Sulawesi Tenggara.
“Subjek Hukumnya banyak, terutama pada kegiatan usaha pertambangan. Namun untuk besaran denda yang harus dibayarkan oleh masing-masing subjek itu ditentukan oleh KLHK RI,” pungkas Hendro.
“Nanti setelah besaran denda sudah di tentukan, selanjutnya Kejaksaan yang lakukan penagihan. Karena itu menyangkut kerugian negara”. Tutupnya